MAKALAH
Politik dalam Kesehatan
Disusun
Oleh :
1. Indah
Puspa Pratiwi
2. Yuliyanita
3. Rima
Wulandari
4. Eneng
Firasati Lailiya
5. Widya
Marwah
6. Lisnawati
7. Elya
Nuraeni
8. Nurmalia
9. Aida
Fitria Qisti
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN KOTA SUKABUMI
Jalan
Babakan Sirna No. 25 Kota Sukabumi
2013
KATA
PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada kelompok kami sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul :“ Politik
dalam Kesehatan”
Kami
menyadari bahwa didalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik dan oleh karena itu dengan rendah hati kami berharap
kepada pembaca untuk memberikan masukan, saran dan kiritik yang sifatnya
membangun guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya
kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Sukabumi, November 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul
.............................................................................................................
i
Kata
Pengantar ............................................................................................................
ii
Daftar
Isi
.........................................................................................................................
iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
...................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah
...................................................................................................
1.3 Tujuan
Penulisan
BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Politik, Kesehatan dan Politik
Kesehatan
2.2. Hubungan politik dan kesehatan
2.3. Pengaruh Politik Beserta Contohnya Terhadap Kesehatan
2.4. kebijakan kesehatan dan
analisis kebijakan
2.5. Masalah politik dan kesehatan
2.6. Strategi dan Esensi Politik Kesehatan
2.7. Politik
Kesehatan di Indonesia
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan
..............................................................................................................
Saran
..........................................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA ...................................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kesehatan
adalah bagian dari politik oleh karena pelayanan kesehatan merupakan pelayanan publik yang seyogianya tidak
hanya dijadikan sebagai kendaraan politik para calon atau kandidat kepala
daerah. (Bambra et all, 2005). Sebuah studi yang dilakukan Navarro et all pada
tahun 2006 meneguhkan korelasi antara ideologi politik suatu pemerintahan
terhadap derajat kesehatan masyarakatnya, melalui kebijakan-kebijakan yang
diambil pemerintahan tersebut. Konsep kesehatan yang dianut pemerintah kita
saat ini, berbuah pembangunan kesehatan yang berbentuk pelayanan kesehatan
individu, ketimbang layanan kesehatan komunitas yang lebih luas,
program-program karitas yang bersifat reaktif seperti Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) atau pengobatan gratis dan Jampersal.
Dalam
UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 bagian Pembukaan butir b (menimbang); disebutkan
bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan
sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing
bangsa bagi pembangunan. Hal ini menunjukkan pentingnya pembangunan kesehatan
dalam bentuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat untuk mempersiapkan
manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing .
Indikator
peningkatan derajat kesehatan antara lain adalah meningkatnya usia harapan
hidup, menurunnya angka kematian ibu, angka kematian bayi dan balita, serta
angka kesakitan (morbiditas). Boleh jadi indikator ini terus menampakkan grafik
membaik. Transparansi tidak hanya menyangkut masalah keuangan, namun
transparansi dalam informasi atas pelayanan publik
Sebagai
contoh, data mengenai jumlah penderita gizi buruk, jumlah penduduk miskin,
rasio jumlah penduduk dengan jumlah sarana kesehatan dan prosedur pelayanan
dasar maupun rujukan hendaknya diberikan pada publik secara transparan.
Untuk
mewujudkan hal tersebut, tidak bisa tidak, negara harus berperan aktif.
Mengutip Release Media Indonesia tentang Politik dan kesejahteraan rakyat ,
Politik kesehatan adalah kebijakan negara di bidang kesehatan. Yakni kebijakan
publik yang didasari oleh hak yang paling fundamental, yaitu sehat merupakan
hak warga negara.Untuk mewujudkan hak rakyat itu, jelas diperlukan keputusan
politik yang juga sehat, yang diambil oleh pemerintahan yang juga sehat secara politik.
Dengan kata lain, politik kesehatan ditentukan oleh sehat tidaknya politik
negara. Hanya pemerintahan dan DPR yang sakit-sakitan yang senang dan
membiarkan rakyatnya juga sakit-sakitan. Karena sehat merupakan hak rakyat, dan
negara pun tak ingin rakyatnya sakit-sakitan, diambillah keputusan politik yang
juga sehat. Yaitu, anggaran untuk kesehatan rakyat mendapatkan porsi yang
besar, sangat besar, karena negara tidak ingin rakyatnya sakit-sakitan.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari penjelasan latar
belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pada makalah ini
adalah:
1.
Pengertian politik dan Politik Kesehatan ?
2.
Pengaruh politik terhadap kesehatan?
3.
Strategi dan esensi politik kesehatan?
4.
Politik Kesehatan dan kemiskinan ?
5. Bagaimana
politik kesehatan di Indonesia?
1.3 Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah :
1.
Mengetahui Pengertian Politik dan Pengertian Politik Kesehatan
2.
Mengetahui Pengaruh politik terhadap kesehatan
3.
Mengetahui Strategi dan esensi politik kesehatan
4.
Mengetahui Politik Kesehatan dan kemiskinan
5. Mengetahui
perkembangan politik kesehatan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Politik,
Kesehatan dan Politik Kesehatan
1.
Pengertian Politik
Perkataan
politik berasal dari bahasa Yunani yaitu Polistaia, Polis berarti
kesatuan masyarakat yang mengurus diri sendiri/berdiri sendiri (negara),
sedangkan taia berarti urusan. Dari segi kepentingan penggunaan, kata
politik mempunyai arti yang berbeda-beda. Untuk lebih memberikan pengertian
arti politik disampaikan beberapa arti politik dari segi kepentingan
penggunaan, yaitu :
a.
Dalam arti kepentingan umum (politics)
Politik dalam arti kepentingan umum atau
segala usaha untuk kepentingan umum, baik yang berada dibawah kekuasaan negara
di Pusat maupun di Daerah, lazim disebut Politik (Politics) yang
artinya adalah suatu rangkaian azas/prinsip, keadaan serta jalan, cara dan alat
yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita
kehendaki disertai dengan jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk
mencapai keadaan yang kita inginkan
b.
Dalam arti kebijaksanaan (Policy)
Politik
adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang yang dianggap lebih
menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita/keinginan atau keadaan yang kita
kehendaki.
c.
Jadi politik menurut kami adalah Suatu ilmu dan seni mengelola peran untuk
mencapai tujan yang dicapai.
2. Pengertian Kesehatan
Kesehatan
adalah kondisi umum dari seseorang dalam semua aspek. Ini juga merupakan
tingkat fungsional dan atau efisiensi metabolisme organisme, sering secara
implisit manusia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mendefinisikan kesehatan
didefinisikan sebagai "keadaan lengkap fisik, mental, dan kesejahteraan
sosial dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan"
Kesehatan
adalah konsep yang positif menekankan sumber daya sosial dan pribadi, serta
kemampuan fisik. Secara keseluruhan kesehatan dicapai melalui kombinasi dari
fisik, mental, dan kesejahteraan sosial, yang, bersama-sama sering disebut
sebagai "Segitiga Kesehatan"
3.
Pengertian Politik Kesehatan
Politik
Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan derajat kesehatan
masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem ketatanegaraan yang dianut
dalam sebuah wilayah atau negara. Untuk meraih tujuan tersebut diperlukan
kekuasaan. Kekuasaan tersebut kelak digunakan untuk mendapat kewenangan yang
diperlukan untuk mencapai cita-cita dan tujuan. Oleh karena itu derajat kesehatan
masyarakat yang diidamkan adalah merupakan sebuah tujuan yang di inginkan
seluruh rakyat banyak, maka derajat kesehatan hendaknya diperjuangkan melalui
sistem dan mekanisme politik.
Bambra et al
(2005) dan Fahmi Umar (2008) mengemukakan mengapa kesehatan itu adalah politik,
karena dalam bidang kesehatan adanya disparitas derajat kesehatan masyarakat,
dimana sebagian menikmati kesehatan sebagian tidak. Oleh sebab itu, untuk
memenuhi equity atau keadilan harus diperjuangkan. Kesehatan adalah bagian dari
Politik karena derajat kesehatan atau masalah kesehatan ditentukan oleh
kebijakan yang dapat diarahkan atau mengikuti kehendak (amenable) terhadap
intervensi kebijakan politik. Kesehatan bagian dari politik karena kesehatan
adalah Hak Asasi manusia.
2.2 Hubungan
politik dan kesehatan
Politik
kesehatan adalah kebijakan negara di bidang kesehatan. Yakni kebijakan publik
yang didasari oleh hak yang paling fundamental, yaitu sehat merupakan hak warga
negara. Sehingga dalam pengambilan keputusan politik khususnya kesehatan
berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat sebaliknya politik juga dipengaruhi
oleh kesehatan dimana jika derajat kesehatan masyarakat meningkat maka akan
berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat
2.3 Pengaruh
Politik Beserta Contohnya Terhadap
Kesehatan
1. Pengaruh Politik Terhadap Kesehatan
Penentuan
kebijakan di bidang kesehatan memang merupakan sebuah sistem yang tidak lepas
dari keadaan disekitarnya yaitu politik. Oleh karena itu, kebijakan yang
dihasilkan merupakan produk dari serangkaian interaksi elit kunci dalam setiap
proses pembuatan kebijakan termasuk tarik-menarik kepentingan antara aktor,
interaksi kekuasaan, alokasi sumber daya dan bargaining position di antara elit
yang terlibat. Proses pembentukan kebijakan tidak dapat menghindar dari upaya
individual atau kelompok tertentu yang berusaha mempengaruhi para pengambil
keputusan agar suatu kebijakan dapat lebih menguntungkan pihaknya. Semua itu,
merupakanmanifestasi dari kekuatan politik (power) untuk mempertahankan
stabilitas dankepentingan masing-masing aktor. Bahkan tak jarang terjadi pula
intervensi kekuasaan dan tarik-menarik kepentingan politis dari pemegang
kekuasaan atau aktor yang memiliki pengaruh dalam posisi politik.
Politik
Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan derajat kesehatan
masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem ketatanegaraan yang dianut
dalam sebuah wilayah atau negara untuk menciptakan masyarakat dan lingkungan sehat
secara keseluruhan. Untuk meraih tujuan tersebut diperlukan kekuasaan. Dengan
kekuasaan yang dimiliki, maka akan melahirkan kebijakan yang pro rakyat untuk
menjamin derajat kesehatan masyarakat itu sendiri. Kebijakan pemerintah dapat
terwujud dalam dua bentuk.
1. Peraturan pemerintah dalam bidang
kesehatan meliputi undang-undang, peraturan presiden, keputusan menteri,
peraturan daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten kota, dan peraturan
lainnya.
2. Kebijakan pemerintah dalam bentuk
program adalah segala aktifitas pemerintah baik yang terencana maupun yang
insidentil dan semuanya bermuara pada peningkatan kesehatan masyarakat, menjaga
lingkungan dan masyarakat agar tetap sehat dan sejahtera, baik fisik, jiwa,
maupun sosial.
Oleh
karena itu, untuk menciptakan kesehatan masyarakat yang prima maka dibutuhkan
berbagai peraturan yang menjadi pedoman bagi petugas kesehatan dan masyarakat
luas, sehingga suasana dan lingkungan sehat selalu tercipta. Di samping itu
pemerintah harus membuat program yang dapat menjadi stimulus bagi anggota
masyarakat untuk menciptakan lingkungan dan masyarakat sehat, baik jasmani,
rohanio, rohani, sosial serta memampukan masyarakat hidup produktif
secara sosial ekonomi.
Kebijakan
kesehatan yang juga berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan penduduk
adalah dengan menambah personel kesehatan baik yang terlibat dalam upaya
preventif maupun dalam tindakan kuratif. Tujuan kebijakan ini agar pelayanan
kesehatan tidak hanya dinikmati oleh golongan tertentu, namun juga bisa
dinikmati oleh semua lapisan masyarakat yang membutuhkan pelayanan ini.
Pada era
globalisasi diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas yang didukung fisik
dan mental yang sehat, sehingga mampu berkompetisi paling optimal. Tanpa
didukung dengan kesehatan fisik dan mental yang balk, sumberdaya manusia tidak
akan mampu berkompetisi dengan optimal. Secara tradisional kesehatan diukur
dari aspek negatifilya seperti angka kesakitan, angka kecacatan, dan angka
kematian. Melalui paradigma sehat, kesehatan sudah tidak lagi dipandang semata
- mata sebagai terbebas dari penyakit, tetapi sebagai sumberdaya yang memberi
kemampuan kepada individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat untuk mengelola
bahkan merubah pola hidup, kebiasaan, dan Iingkungannya.
Berbeda dengan
paradigma lama yang berorientasi kepada penyakit, maka paradigma baru
berorientasi kepada nilai positif kesehatan, bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup seoptimal mungkin melalui pengurangan dalam penderitaan dan
kecemasan, serta peningkatan dalam harkat diri dan kemampuan untuk mandiri,
sekalipun dalam menghadapi penyakit yang kronis maupun fatal (Manajemen
Strategis Terpadu Bagi Masyarakat Miskin, 1999).
Saat ini dimana
lingkungan sosial, ekonomi, dan politik berada pada situasi krisis, termasuk
sektor kesehatan telah membuat masyarakat terutama masyarakat golongan miskin
bertambah menderita karena semakin sulit menjangkau fasilitas kesehatan milik
swasta maupun pemerintah. Dalam hal ini, rumah sakit sebagai organisasi sosial
bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit harus
dapat berfungsi sebagai rumah sehat yang melaksanakan kegiatan promotif bagi
kesehatan pasien, staf rumah sakit, dan masyarakat di wilayah cakupannya serta
pengembangan organisasi rumah sakit menjadi organisasi yang sehat.
Penerapan
sebagai rumah sehat memerlukan pendekatan terpadu dalam pengernbangan
organisasi dan tenaga kesehatan. Gerakan rumah sehat akan menghasilkan
penajaman pelayanan rumah sakit dalam menunjang gerakan kesehatan bagi semua dan
pemberdayaan pasien serta staf rumah sakit (Manajemen Strategis Terpadu Bagi
Masyarakat 1999). Masyarakat selalu mengharapkan agar pelayanan rumah sakit,
baik. milik pemerintah maupun swasta dapat memberikan pelayanan yang baik dan
memuaskan bagi setiap pengguna yang memanfaatkannya, pasien menginginkan
fasilitas yang baik dari rumah sakit, keramahan pihak rumah sakit, serta
ketanggapan, kemampuan, dan kesungguhan para petugas rumah sakit, Dengan
demikian pihak rumah sakit dituntut untuk selalu berusaha meningkatkan layanan
kepada pasien.
Haryono Wiratno
(1998), mengatakan bahwa kualitas pelayanan (Service Quality) adalah
pandangan konsumen terhadap hasil perbandingan antara ekspektasi konsumen
dengan kenyataan yang diperoleh dari pelayanan. Sedangkan kepuasan adalah
persepsi pelanggan terhadap satu pengalaman layanan yang diterima
Program
kesehatan di masyarakat mendapat perhatian tetapi, yang dapat kita pelajari
dari makalah ini adalah bahwa banyak kebijakan “bagus” tetapi seperti berada di
keranjang sampah. Mereka dibuang begitu saja. Ada contoh peristiwa politik
memanfaatkan kebijakan tetapi berbeda dari masalah dan policy option yang
sewajarnya lebih baik.
Muatan
politik begitu kuat sehingga kebijakan itu menyeleweng dari relevansi masalah
yang dianggap oleh masyarakat dan birokrat. Ada contoh peristiwa politik
berhimpitan dengan masalah dan policy option yang relevan dengan stakeholder
lain. Politik memiliki pengaruh begitu besar terhadap kebijakan dan
pengembangan di bidang kesehatan.
2. Contoh
pengaruh politik terhadap kesehatan
1. Anggaran kesehatan
Karena
sehat merupakan hak rakyat dan negara pun tak ingin rakyatnya sakit-sakitan,
diambillah keputusan politik yang juga sehat. Yaitu, anggaran untuk kesehatan
rakyat mendapatkan porsi yang sangat besar, karena negara tidak ingin rakyatnya
sakit-sakitan. Pemerintah bersama DPR. Membebani impor alat-alat kedokteran
dengan pajak yang sama untuk impor mobil mewah, juga keputusan politik.
2. UU Tembakau; Cukei rokok terus
dinaikkan karena konsumsi rokok di Indonesia semakin meningkat.
Biaya
ekonomi dan sosial yang ditimbulkan akibat konsumsi tembakau terus meningkat
dan beban peningkatan ini sebagian besar ditanggung oleh masyarakat miskin.
Angka kerugian akibat rokok setiap tahun mencapai 200 juta dolar Amerika,
sedangkan angka kematian akibat penyakit yang diakibatkan merokok terus
meningkat. Di Indonesia, jumlah biaya konsumsi tembakau tahun 2005 yang
meliputi biaya langsung di tingkat rumah tangga dan biaya tidak langsung karena
hilangnya produktifitas akibat kematian dini, sakit dan kecacatan adalah US $
18,5 Milyar atau Rp 167,1 Triliun. Jumlah tersebut adalah sekitar 5 kali
lipat lebih tinggi dari pemasukan cukai sebesar Rp 32,6 Triliun atau US$ 3,62
Milyar tahun 2005 (1US$ = Rp 8.500,-).
3. Program Pembatasan Waktu Iklan Rokok
Larangan
iklan secara menyeluruh merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada
masyarakat khususnya anak-anak dan remaja. Anak-anak dan remaja merupakan
sasaran utama produsen rokok. Diakui oleh industri rokok bahwa anak-anak dan
remaja merupakan aset bagi keberlangsungan industri rokok. Untuk itu kebijakan
larangan iklan rokok secara menyeluruh harus diterapkan untuk melindungi anak
dan remaja dari pencitraan produk tembakau yang menyesatkan.
Pelarangan
iklan rokok menyeluruh (total ban) mencakup iklan, promosi dan sponsorship yang
meliputi pelarangan (1) iklan, baik langsung maupun tidak langsung di semua
media massa; (2) promosi dalam berbagai bentuk, misalnya potongan harga,
hadiah, peningkatan citra perusahaan dengan menggunakan nama merek atau
perusahaan dan (3) sponsorship dalam bentuk pemberian beasiswa, pemberian
bantuan untuk bidang pendidikan, kebudayaan, olah raga, lingkungan hidup, dll.
4. Program Kesehatan Gratis di Gorontalo
Berdasarkan
kemampuan sumber daya dan permasalahan bidang kesehatan, maka dapat
diproyeksikan pencapaian program sebagai berikut:
1. Program Promosi Kesehatan dan
pemberdayaan Masyarakat; meningkatnya persentase rumah tangga berperilaku
hidup bersih dan sehat menjadi 60%
2. Program Lingkungan Sehat; meningkatnya
persentase keluarga menghuni rumah yang memenuhi syarat kesehatan menjadi 75 %,
persentase keluarga menggunakan air bersih menjadi 85 %, persentase
keluarga menggunakan jamban memenuhi syarat kesehatan menjadi 80%, dan
persentase tempat-tempat umum yang memenuhi syarat kesehatan menjadi 80 %
3. Program Upaya Kesehatan Masyarakat ;
Cakupan rawat jalan sebesar 15%, Meningkatnya cakupan persalinan nakes menjadi
90%, Pelayanan antenatal (K4) 90%, kunjungan neonatus (KN2) 90%, dan cakupan
kunjungan bayi menjadi 90 %, pelayana kesehatan dasar bagi gakin di Puskesmas
sebesar 100 %, Persentase posyandu Purnama Mandiri 40 %, Tersedia dan
beroperasinya Pos kesehatan desa di tiap desa.
4. Program Upaya Kesehatan Perorangan;
Cakupan rawat inap sebesar 1.5 %, Rumah sakit yang melaksanakan pelayaan gawat
darurat sebesar 90 %, jumlah rumah sakit PONEK sebesar 75 % dan rumah sakit
yang terakreditasi sebanyak 75 %, terselenggaranya pelayanan kewsehatan bagi
Gakin di kelas III rumah saki sebesar 100 %.
2.4
Kebijakan Kesehatan dan Analisis Kebijakan serta Dasar – Dasar Membuat
Kebijakan Kesehatan
1.
Kebijakan Kesehatan dan
Analisis Kebijakan
Analisis
Kebijakan Kesehatan, terdiri dari 3 kata yang mengandung arti atau dimensi yang
luas, yaitu analisa atau analisis, kebijakan, dan kesehatan.
Analisa atau analisis, adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (seperti karangan, perbuatan, kejadian atau peristiwa) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab musabab atau duduk perkaranya (Balai Pustaka, 1991).
Kebijakan merupakan suatu rangkaian alternative yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam terhadap berbagai alternative yang bermuara kepada keputusan tentang alternative terbaik[8]. Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak (tentag organisasi, atau pemerintah); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran tertentu. Contoh: kebijakan kebudayaan, adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar rencana atau aktifitas suatu negara untuk mengembangkan kebudayaan bangsanya. Kebijakan Kependudukan, adalah konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk mengatur atau mengawasi pertumbuhan penduduk dan dinamika penduduk dalam negaranya (Balai Pustaka, 1991).[8]
Analisa atau analisis, adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (seperti karangan, perbuatan, kejadian atau peristiwa) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab musabab atau duduk perkaranya (Balai Pustaka, 1991).
Kebijakan merupakan suatu rangkaian alternative yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam terhadap berbagai alternative yang bermuara kepada keputusan tentang alternative terbaik[8]. Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak (tentag organisasi, atau pemerintah); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran tertentu. Contoh: kebijakan kebudayaan, adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar rencana atau aktifitas suatu negara untuk mengembangkan kebudayaan bangsanya. Kebijakan Kependudukan, adalah konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk mengatur atau mengawasi pertumbuhan penduduk dan dinamika penduduk dalam negaranya (Balai Pustaka, 1991).[8]
Kebijakan
berbeda makna dengan Kebijaksanaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai
Pustaka, 1991), kebijaksanaan adalah kepandaian seseorang menggunakan akal
budinya (berdasar pengalaman dan pangetahuannya); atau kecakapan bertindak
apabila menghadapi kesulitan.[11] Kebijaksanaan berkenaan dengan
suatu keputusan yang memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang
berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan
gawat dll. Kebijaksanaan selalu mengandung makna melanggar segala sesuatu yang
pernah ditetapkan karena alasan tertentu.[8]
Menurut UU RI No. 23, tahun 1991, tentang kesehatan, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara soial dan ekonomi (RI, 1992).[9] Pengertian ini cenderung tidak berbeda dengan yang dikembangkan oleh WHO, yaitu: kesehatan adalah suatu kaadaan yang sempurna yang mencakup fisik, mental, kesejahteraan dan bukan hanya terbebasnya dari penyakit atau kecacatan.[13] Menurut UU No. 36, tahun 2009 Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. [12]
Menurut UU RI No. 23, tahun 1991, tentang kesehatan, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara soial dan ekonomi (RI, 1992).[9] Pengertian ini cenderung tidak berbeda dengan yang dikembangkan oleh WHO, yaitu: kesehatan adalah suatu kaadaan yang sempurna yang mencakup fisik, mental, kesejahteraan dan bukan hanya terbebasnya dari penyakit atau kecacatan.[13] Menurut UU No. 36, tahun 2009 Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. [12]
Jadi,
analisis kebijakan kesehatan
adalah pengunaan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan
memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan
ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan kesehatan.
2. Dasar
– dasar membuat kebijakan kesehatan
|
Analisis
kebijakan kesehatan awalnya adalah hasil pengembangan dari analisis kebijakan
publik. Akibat dari semakin majunya ilmu pengetahuan dan kebutuhan akan
analisis kebijakan dalam bidang kesehatan
itulah akhirnya bidang kajian analisis kebijakan kesehatan muncul.
Sebagai
suatu bidang kajian ilmu yang baru, analisis kebijakan kesehatan memiliki peran
dan fungsi dalam pelaksanaannya. Peran dan fungsi itu adalah:
- Adanya analisis kebijakan kesehatan akan
memberikan keputusan yang fokus pada masalah yang akan diselesaikan.
- Analisis kebijakan kesehatan mampu menganalisis
multi disiplin ilmu. Satu disiplin kebijakan dan kedua disiplin ilmu kesehatan.
Pada peran ini analisis kebijakan kesehatan menggabungkan keduanya yang
kemudian menjadi sub kajian baru dalam khazanah keilmuan.
- Adanya analisis kebijakan kesehatan, pemerintah
mampu memberikan jenis tindakan kebijakan apakah yang tepat untuk
menyelesaikan suatu masalah.
- Memberikan kepastian dengan memberikan
kebijakan/keputusan yang sesuai atas suatu masalah yang awalnya tidak
pasti.
- Dan analisis kebijakan kesehatan juga menelaah
fakta-fakta yang muncul kemudian akibat dari produk kebijakan yang telah
diputuskan/diundangkan. [1] [2]
3.
Kebijakan Kesehatan Di Indonesia
1. Isu strategis
1. Isu strategis
A. Pemerataan
dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang bermutu belum optimal.
B. Sistem
perencanaan dan penganggaran departemen kesehatan belum optimal
C. Standar
dan pedoman pelaksanaan pembangunan kesehatan masih kurang memadai
D. Dukungan
departemen kesehatan untuk melaksanakan pembangunan kesehatan masih terbatas.
2.
Strategi kesehatan di Indonesia
A. Mewujudkan komitmen pembangunan kesehatan
B. Meningkatkan
pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan
C. Membina
sistem kesehatan dan sistem hukum di bidang kesehatan
D. Mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
E. Melaksanakan jejaring pembangunan kesehatan
3.
Kebijakan program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
A. Pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
A. Pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
B. Pengembangan
upaya kesehatan bersumber masyarakat dan generasi muda
C. Peningkatan pendidikan kesehatan kepada
masyarakat
4. Kebijakan program lingkungan sehat
A. Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar
B. Pemeliharaan dan pengawasan kualitas lingkungan
C. Pengendalian dampak resiko pencemaran lingkungan
D. Pengembangan wilayah sehat
5. Kebijakan program upaya kesehatan dan pelayanan kesehatan
A. Pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya
B. Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya
C. Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik esensial
D. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup sekurang-kurangnya promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana
E. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan
4. Kebijakan program lingkungan sehat
A. Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar
B. Pemeliharaan dan pengawasan kualitas lingkungan
C. Pengendalian dampak resiko pencemaran lingkungan
D. Pengembangan wilayah sehat
5. Kebijakan program upaya kesehatan dan pelayanan kesehatan
A. Pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya
B. Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya
C. Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik esensial
D. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup sekurang-kurangnya promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana
E. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan
6.
Kebijakan program upaya kesehatan perorangan
A. Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin
kelas III RS
B. Pembangunan sarana dan parasarana RS di
daerah tertinggal secara selektif
C. Perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit
D. Pengadaan obat dan perbekalan RS
C. Perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit
D. Pengadaan obat dan perbekalan RS
E. Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan
F. Pengembangan pelayanan kedokteran keluarga
G. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan
F. Pengembangan pelayanan kedokteran keluarga
G. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan
7.
Kebijakan program pencegahan dan pemberantasan penyakit
A. Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko
B. Peningkatan imunisasi
C. Penemuan dan tatalaksana penderita
D. Peningkatan surveilans epidemologi
E. Peningkatan KIE pencegahan dan pemberantasan penyakit
8. Kebijakan program perbaikan gizi masyarakat
A. Peningkatan pendidikan gizi
B. Penangulangan KEP, anemia gizi besi, GAKI, kurang vitamin A, kekuarangan zat gizi mikro lainnya
C. Penanggulangan gizi lebih
D. Peningkatan surveilans gizi
E. Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi
9. Kebijakan program sumber daya kesehatan
A. Peningkatan mutu penggunaan obat dan perbekalan kesehatan
B. Peningkatan keterjangkauan harga obat dan perbekalan kesehatan terutama untuk penduduk miskin
C. Peningkatan mutu pelayanan farmasi komunitas dan rumah sakit
A. Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko
B. Peningkatan imunisasi
C. Penemuan dan tatalaksana penderita
D. Peningkatan surveilans epidemologi
E. Peningkatan KIE pencegahan dan pemberantasan penyakit
8. Kebijakan program perbaikan gizi masyarakat
A. Peningkatan pendidikan gizi
B. Penangulangan KEP, anemia gizi besi, GAKI, kurang vitamin A, kekuarangan zat gizi mikro lainnya
C. Penanggulangan gizi lebih
D. Peningkatan surveilans gizi
E. Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi
9. Kebijakan program sumber daya kesehatan
A. Peningkatan mutu penggunaan obat dan perbekalan kesehatan
B. Peningkatan keterjangkauan harga obat dan perbekalan kesehatan terutama untuk penduduk miskin
C. Peningkatan mutu pelayanan farmasi komunitas dan rumah sakit
10.
Kebijakan program kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan
A. Pengkajian dan penyusunan kebijakan
B. Pengembangan sistem perencanaan dan pengangaran, pelaksanaan dan pengendalian, pengawasan dan penyempurnaan administrasi keuangan, serta hukum kesehatan
C. Pengembangan sistem informasi kesehatan
D. Pengembangan sistem kesehatan daerah
E. Peningkatan jaminan pembiayaan kesehatan
11. Kebijakan program penelitian dan pengembagan kesehatan
A. Penelitian dan pengembangan
B. Pengembangan tenaga, sarana dan prasarana penelitian
C. Penyebarluasan dan pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan
A. Pengkajian dan penyusunan kebijakan
B. Pengembangan sistem perencanaan dan pengangaran, pelaksanaan dan pengendalian, pengawasan dan penyempurnaan administrasi keuangan, serta hukum kesehatan
C. Pengembangan sistem informasi kesehatan
D. Pengembangan sistem kesehatan daerah
E. Peningkatan jaminan pembiayaan kesehatan
11. Kebijakan program penelitian dan pengembagan kesehatan
A. Penelitian dan pengembangan
B. Pengembangan tenaga, sarana dan prasarana penelitian
C. Penyebarluasan dan pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan
4. Kesehatan
dan Komitmen Politik
Masalah kesehatan pada dasarnya
adalah masalah politik oleh karena itu untuk memecahkan masalah kesehatan
diperlukan komitmen politik. Dewasa ini masih terasa adanya anggapan bahwa
unsur kesehatan penduduk tidak banyak berperan terhadap pembangunan sosial ekonomi.
Para Aktor Politik sebagai penentu kebijakan masih beranggapan sektor kesehatan
lebih merupakan kegiatan yang bersifat konsumtif ketimbang upaya membangun
sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga apabila ada keguncangan dalam
keadaan ekonomi negara alokasi terhadap sektor ini tidak akan meningkat.
Sementara itu para pakar kesehatan
belum mampu memperlihatkan secara jelas manfaat investasi bidang kesehatan
dalam menunjang pembangunan negara. Kesenjangan derajat kesehatan masyarakat
antar wilayah atau spesial perlu segera diatasi. Investasi yang selama ini
lebih ditekankan pada penambahan fasilitas, peralatan dan tenaga medis perlu
dipelajari kembali.
Banyak rumah sakit, puskesmas,
poliklinik, bidan, dan dokter bukan merupakan jaminan meningkatnya kesehatan
penduduk. Sehingga dalam upaya memecahkan masalah kesehatan tidak bisa hanya
dilakukan di bangsal-bangsal rumah sakit ataupun ruang tunggu poliklinik atau
puskesmas melainkan di perlukan intervensi yang serius dari ”Aktor Politik”
apakah di Departemen Kesehatan yang di komandani oleh ”Aktor Politik” sebagai
pembantu presiden (Menteri Kesehatan) yang melaksanakan kebijakan politik
Presiden yang telah mengangkatnya, Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota yang
bertanggung jawab kepada Gubernur/ Bupati/Walikota serta Aktor Politik di DPR
RI / DPD/ DPRD Propinsi/ Kabupaten/Kota.
Pergeseran paradigma dari pelayanan
medis ke pembangunan kesehatan untuk membuat rakyat sehat memerlukan penguatan
komitmen politik dari seluruh ”aktor politik” yang telah dipilih oleh rakyat,
kesemuanya semata-mata untuk kemakmuran rakyat, melalui upaya nyata dengan
memprioritaskan berbagai kebijakan untuk membuat rakyat sehat.
Sejauh mana dan seberapa besar
komitmen politik dari "aktor politik" untuk mewujudkan kesehatan warganya
dapat kita lihat selama lima tahun desentralisasi. Adakah komitmen Gubernur/
Bupati/Walikota yang didukung DPRD masing-masing, yang telah memberikan
anggaran kepada sektor kesehatan minimal sebesar 15 % dari APBD. Menurut Ketua
Panitia Ad Hoc (PAH) IV Dewan Perwakilan Daerah (Kompas, 26 April) yang
menyatakan adanya kecenderungan kepala daerah mengutamakan kepentingan proyek
mercusuar di daerahnya. Rasio dana alokasi dana operasional di daerah dengan
alokasi dana untuk pembangunan daerah masih timpang dengan rasio 60 persen
berbanding 30 persen. Begitu menjadi kepala daerah yang pertama mereka
pikirkan, membangun atau merenovasi rumah dinas agar menjadi mewah, atau segera
mengganti mobil dinas dengan mobil yang baru, lalu membangun gedung. Hal ini menggambarkan
”aktor politik” belum memprioritaskan pada pembangunan kesehatan. Padahal jika
mau ber-Investasi untuk kesehatan ini akan berdampak kepada produktivitas
seluruh warga, karena jika warganya sehat maka akan lebih produktif dan
akhirnya dapat mendukung berbagai program pembangunan sesuai dengan kompetensi
masing-masing warga tersebut. Melalui komitemen ini sebenarnya dapat pula
dijadikan modal politik untuk mendapatkan suara pada periode pemilihan
selanjutnya. Akan tetapi jika mereka tidak memiliki komitmen untuk menyehatkan
warganya, maka jangan disalahkan jika "rakyat yang telah sadar
politik" yang memiliki hak dalam memilih akan dapat memberikan sangsi
politik dengan tidak memilihnya kembali untuk periode kepemimpinan berikutnya.
Dilema yang dialami oleh "aktor
politik" baik di eksekutif maupun di Legislatif dan duduk menjadi anggota
DPRD yang memiliki hak lesgislasi (membuat UU/Perda), Hak Bugjeting (membuat
Anggaran) dan Hak pengawasan di berbagai daerah adalah tidak adanya dasar hukum
berupa undang-undang yang mengharuskan mereka menetapkan anggaran kesehatan
dalam APBD sebesar 15% seperti yang kita harapkan, karena belum ada undang-
undangnya.
Padahal saat ini UU Nomor 23 tahun
1992 tentang Kesehatan sedang dalam proses amandemen atas inisiatif DPR RI,
sehingga hal ini dapat dijadikan momentum untuk menunjukkan komitmen politik
oleh aktor politik di Republik ini kepada warga yang telah memilihnya. Dan
melalui komitmen ini pula dapat dijadikan modal politik untuk pemilu kelak,
Rakyat yang telah sadar politik kelak tidak akan pindah kelain hati (akan tetap
memilih) wakilnya yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, yang
benar-benar berupaya untuk membuat rakyat sehat. Salah satunya adalah dengan
penguatan komitmen dan memberikan prioritas pembangunan sektor kesehatan. Upaya
yang strategis dapat dilakukan saat ini dalam proses amandeman UU No 23/92
tentang Kesehatan yang sedang berjalan, dengan cara memasukkan kata "wajib
memberikan anggaran di APBN dan APDB minimal sebesar 15% dari APBN/APBD"
pada salah satu pasal dalam amandemen UU 23/92. Karena UU ini kelak akan
menjadi rujukan formal oleh aktor-aktor politik dalam membuat berbagai
kebijakan dalam pembangunan sektor kesehatan.
Intervensi oleh Aktor Politik untuk
Membuat Rakyat Sehat Aktor politik tidak hanya cukup menyatakan keprihatinan
dengan merebaknya berbagai penyakit, masalah gizi buruk dan masalah-masalah
kesehatan masyarakat yang banyak menimpa masyarakat miskin dewasa ini, yang
semua ini menyulitkan pencapaian untuk membuat rakyat Indonesia sehat dan
komitmen global MDGs 2015. Aktor Politik baik di pusat dan di daerah yang
domisisli dari Sabang sampai Meroke dapat membuat kebijakan dan hukum yang
menekankan pada program perlindungan kesehatan, promosi kesehatan dan
pencegahan penyakit, memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, menguatkan
kerjasama lintas sektoral dan mengajak seluruh lapisan masyarakat bersama-sama
bertanggung jawab dalam pemeliharaan kesehatan lingkungan dan perilaku hidup
sehat. Dapat pula membuat kebijakan berupa program yang bersifat nasional yang
dapat menjamin kesehatan generasi mendatang secara dini yang melindungi
kelompok rentan yaitu ibu, bayi dan anak dari berbagai gangguan gizi dan
masalah kesehatan.
Jika kita perhatikan sejak Orde baru
dengan program kerja yang terencana PELITA I–VII, dilanjutkan lagi dengan era
desentralisasi yang sudah berlangsung lebih lima tahun, masih menyebabkan angka
kematian ibu dan angka kematian bayi baru lahir dengan angka yang pergeserannya
tidak signifikan. Bahkan ada data yang menunjjukan bahwa setiap 2 jam ada ibu
baru melahirkan yang meinggal dunia. Kedepan seharusnya Aktor politik dapat
membuat program-program kerja yang lebih proaktif misalnya dengan membuat
program kerja yang proaktif dengan cara melakukan intervensi di Hulu pada
permasalahan kesehatan yang ada. Misalnya untuk mengurangi secara
signifikan angka kematian ibu dan angka kematian bayi baru lahir perlu dibuat
kebijakan untuk mengintervensi sejak di ketemukan adanya Wanita Usia Subur
(WUS) dengan kategori tidak mampu, menikah dengan pria yang dikategorikan tidak
mampu pula di KUA ataupun Catatan setempat sipil dan diketahui oleh pihak
kelurahan setempat, juga diketahui oleh pihak puskesmas terdekat. Intervensi
untuk program penyelamatan ibu tersebut misalnya memberikan batuan langsung
tunai untuk ibu hamil (BLT-IH) tidak mampu. Intervensi ini berupa BLT-IH ini
diberikan selama 9 bulan dan diberikan juga bantuan biaya untuk biaya
melahirkan bila perlu dengan biaya transportasi pulang-pergi dari dan kelokasi
tempat melahirkan yaitu tenaga professional yang mampu menolong kelahiran
(bidan praktek, obgyn, dll).
Setelah anaknya lahir perlu pula
dibuat kebijakan untuk menyelamatkan bayi tersebut dari berbagai gangguan gizi
dan masalah kesehatan sampai umur tiga tahun melalui intervensi dengan cara
memberikan bantuan langsung tunai Bayi bawah Tiga Tahun (BLT-Batita), hal ini
untuk menjaga kesehatan gizi si anak dan dijaga pula kesehatan dengan
memberikan imunisasi lengkap. Dengan adanya program program proaktif tersebut
diharapkan kedepan di era desentarlaisasai ini kita akan melakukankan berbagai
kegiatan tidak lagi mengurusi masalah tingginya angka kematian Ibu dan bayi baru lahir.
Deparemen terkait lainnya dapat pula ,memberdayakan kepala keluarga dengan
memberikan pelatihan –pelatihan keterampilan kerja sehingga orang tua anak
dapat berusaha untuk mencukupi perekonomian mereka. Sehingga diharapkan kedepan
tidak dijumpai lagi adanya kasus Kurang Energi Protein (KEP) yang tersebar
dimana-mana. Intervensi kebijakan strategis lainya adalah dalam pelayanan
kesehatan dasar di Puskesmas yang mencakup upaya preventif dan promotif selain
tetap menjalankan program kuratif dan rehabilitatif. Sudah selayaknya manajer
di Puskesma di berikan kepada tenaga yang benar-benar mampu dan memiliki latar
belakang ilmu pengetahuan dan pengalaman praktis untuk menjadi manajer dalam
upaya pelayanan kesehatan dasar yang merupakan arah pembangunan kesehatan oleh
pemerintah, dengan dasar hukum SK Menkes Nomor: 128/Menkes/SK/II/2004 tentang
kebijakan dasar Pusat Kesehatan dalam kriteria personalia yang mengisi struktur
masyarakat dimana Puskesmas disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab
masing-masing unit Puskesmas.
Khsusunya untuk Kepala Puskesmas
kriteria tersebut dipersyaratkan harus seorang sarjana di bidang kesehatan yang
kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat. Nampaknya upaya untuk
membuat rakyat sehat belum sejalan dengan rekrutmen tenaga
kesehatan/PNS yang baru berjalan. Sedangkan upaya bidang kuratif tetap menjadi tanggung jawab profesi yang bertanggung jawab pada bidang kuratif yaitu medical dokter. Jika mungkin untuk memberlakukan kembali sistem Inpres dokter di untuk tingkat pelayanan dasar. Karena menurut data masih banyak upaya kuratif di puskesmas tidak dilakukan oleh tenaga profesional yang memiliki kompetensi untuk melakukan upaya kuratif tersebut, tetapi didelegasikan kepada tenaga lain yang nota bene tidak berhak untuk melakukan pelayanan kuratif.
kesehatan/PNS yang baru berjalan. Sedangkan upaya bidang kuratif tetap menjadi tanggung jawab profesi yang bertanggung jawab pada bidang kuratif yaitu medical dokter. Jika mungkin untuk memberlakukan kembali sistem Inpres dokter di untuk tingkat pelayanan dasar. Karena menurut data masih banyak upaya kuratif di puskesmas tidak dilakukan oleh tenaga profesional yang memiliki kompetensi untuk melakukan upaya kuratif tersebut, tetapi didelegasikan kepada tenaga lain yang nota bene tidak berhak untuk melakukan pelayanan kuratif.
Kebijakan oleh aktor politik di
daerah (Bupati/Walikota) dapat menetapkan profesional sebagai manajer puskesmas
dalam upaya membuat rakyat sehat, dengan cara menjaga kesehatan warga diwilayah
kerja dapat melakukan kegiatan untuk membuat rakyat sehat dengan berbagai
trobosan program untuk betul-betul membuat warga masayarakat semakin sehat dan
produktif, sehingga akhirnya dapat berkarya menghasilkan sesuatu sesuai dengan
keahlian dan tanggungjawabnya masing-masing, dengan tidak meninggalkan upaya
kuratif. Kebijakan populis lainnya yang bisa dipikirkan untuk mendorong hal ini,
misalnya, melalui pemberian award bagi manajer Puskesmas dan Rumah Sakit yang
telah berhasil memotivasi sejumlah warga untuk selalu sehat dan produktif
melalui berbagai program promotif dan preventif yang dijalankan dalam tupoksi
kedua lembaga ini.
Untuk jangka panjangnya kegiatan
yang ideal adalah memprioritaskan pada upaya promotif, preventif dan protektif
dengan tidak meninggalkan upaya kuratif dengan ukuran yang mudah dan
menggunakan indikator-indikator langsung berupa menurunnya angka kunjungan ke puskesmas,
puskesmas pembantu dan Rumah Sakit(RS) dikarenakan sakit. Fungsi pelayanan
dasar harus memprioritaskan dalam upaya membuat rakyat sehat dan produktif.
Fungsi RS juga harus bergeser yaitu
dalam rangka menyehatkan warga negara dengan Ilmu dan teknologi kedokteran
kesehatan, karena RS adalah bagian dari upaya Sistem Kesehatan Nasional. Dan
sebetulnya dalam pakem paradigma sehat yang utama adalah menjaga yang sehat
agar tetap sehat sehingga tidak sakit dan dapat
terhindarkan dari penyakit. Selain tentunya menyembuhkan yang sakit dan
menjaganya agar tidak kembali sakit. Bila penduduk sehat maka mereka dapat
lebih produktif, dapat meningkatkan pendapatan ekonominya dan dapat lebih
memiliki kepedulian dalam menjalankan demokrasi. Dan akhirnya rakyat yang sehat
dapat pula memilih wakil mereka yang berkualitas melalui pemilu yang
demokratis. Tentunya rakyat akan menentukan pilihannya yang ditujukan kepada
“aktor politik” yang benar-benar memiliki komitmen untuk membuat warga negara
menjadi sehat.
Bentuk intervensi yang cerdas yang
dapat dilakukan oleh aktor politik untuk mencegah agar penduduk tidak sakit,
wajib kita dukung. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan-pendekatan
”perekayasaan” yang positif didasarkan pada pertimbangan sosial-kultural daerah
setempat. Masing-masing daerah dapat pula melakukan perekayasaan kepada
masyarakat untuk selalu hidup sehat dan terhindar dari penyakit. Perekayasaan
yang sederhana dan dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Di era
desentaralisasi ini dengan penguatan komitmen politik untuk selalu
memprioritaskan pembangunan sektor kesehatan. Upaya strategis lainnya dalah
mengimplementasikan penjabaran UU RI no 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) yang di implementasikan dalam bentuk Peraturan Pemerintah
untuk diprluas dalam upaya menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir. Sehingga
kelak kita dapat berharap di media massa akan terlihat laporan ”neraca
kesehatan” dengan persentase semakin banyaknya warga negara yang terhindarkan
dari sakit dan telah dibuat sehat melalui berbagai kebijakan di hulu.
2.5 Masalah
politik dan kesehatan
Politik
kesehatan merupakan upaya pembangunan masyarakat dalam bidang kesehatan.
Masalah politik dalam kesehatan adalah sesuatu yang harus diselesaikan atau
dipecahkan dalam upaya pembangunan di bidang kesehatan. Saat ini, apa yang
dipikirkan oleh ahli kesehatan masyarakat sangat berbeda dengan apa yang
dipikirkan oleh para pemimpin politik dalam melihat pembangunan.
Para
ahli kesehatan masyarakat selalu memandang kesehatan adalah utama dan satu
satunya cara dalam mencapai kesejahteraan, kesehatan ibu dan anak adalah
prioritas, ketimpangan kaya dan miskin adalah sumber masalah kesehatan.
kebijakan dan politik kesehatan harus berbasis bukti dan pendekatan pencegahan
penyakit adalah yang utama. Sayangnya para pemimpin politik, tidak memandang
sama dalam melihat persoalan pembangunan kesehatan, keputusan-keputusan politik
lebih didasari kepada hasil survey popularitas dan prioritas pembangunan lebih
kepada yang terlihat cepat di mata konstituen. perbedaan masalah ini berakar
dari para ahli kesehatan masyarakat yang enggan untuk memahami masalah politik
pembangunan, terutama pembangunan dalam bidang kesehatan. Sehingga tidak dapat
dipungkiri bahwa masalah kesehatan adalah masalah politik.
Masalah
kesehatan bukan lagi hanya berkaitan erat dengan tehnis medis, tetapi sudah
lebih jauh memasuki area-area yang bersifat social, ekonomi dan politik karena
masalah kesehatan merupakan masalah politik maka untuk memecahkannya diperlukan
komitmen politik. Namun, untuk memecahkan masalah tersebut ternyata tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan. Disini aktor politik kesehatan belum mampu
meyakinkan bahwa kesehatan adalah investasi, sector produktif dan bukan sector
konsumtif. Praktisi kesehatan juga belum mampu memperlihatkan secara jelas di
dalam mempengaruhi para pemegang kebijakan tentang manfaat investasi bidang
kesehatan yang dapatmenunjang pembangunan bangsa.
Tidak
ada batasan yang jelas siapa aktor politik kesehatan yang sesungguhnya, namun
dapat dikatakan bahwa aktor politik kesehatan adalah orang, lembaga atau
profesi yang berjuang untuk mewujudkan rakyat yang sehatdan sejahtera. Akan
tetapi karena masalah politik adalah masalah kesehatan, maka tentu saja tidak
perlu semua aktor politik adalah orang kesehatan atau orang dengan latar
belakang kesehatan akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana para aktor
politik mempunyai wawasan kesehatan.
2.6
Strategi dan Esensi Politik Kesehatan
Berita di panggung politik
akhir – akhir ini, baik Pilgub ataupun Pilbup tak henti- hentinya menghiasi
media massa baik Cetak maupun Elektronik. Seolah menjadi sumber berita yang
memberikan “ energi lebih” kepada media untuk menjadikannya headline
setiap hari.
Namun
disisi lain, berbagai strategi yang telah dilakukan tersebut tetap tidak
menghentikan lajunya perkembangan penyakit yang terus memeras keringat para
ahli kesehatan untuk mengendalikannya. Masih Terus terdengar banyaknya
masyarakat miskin yang tak mampu mengakses layanan kesehatan karena tak ada
biaya. Masih banyaknya Balita yang mengalami Gizi buruk. Buruknya mutu
pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat di Puskesmas dan Rumah sakit
pemerintah, serta sejumlah permasalahan pada sektor kesehatan yang menunggu
implementasi Visi, misi, dan program para calon pemimpin yang tampak
menjanjikan, namun sungguh sulit untuk direalisasi, akankah kenyataannya
seindah janji.
Anggaran
itu sudah pasti merupakan produk politik, karena ditetapkan pemerintah bersama
DPR. Membebani impor alat-alat kedokteran dengan pajak yang sama untuk impor
mobil mewah, juga keputusan politik. Membiarkan dokter menumpuk dan berebut
cuma di kota besar, atau mengatur penyebarannya berdasarkan kepentingan Daerah,
contoh lain buah keputusan politik, singkatnya, politik kesehatan atau
kebijakan kesehatan memang akhirnya ditentukan oleh keputusan politik. Kalau
kehidupan politik di suatu Daerah tidak sehat, jangan harap kesehatan
masyarakat di daerah itu akan diurus dengan sehat pula. Politik yang sakit akan
membiarkan rakyatnya sakit.
Contoh
paling nyata yang terjadi dalam
penetapan anggaran untuk kesehatan, menteri kesehatan mengajukan rancangan
anggaran kepada presiden yang kemudian akan dibahas bersama DPR karena dalam
penetapan Anggaran Belanja Negara DPR mempunyai wewenang dalam menyetujui
maupun menolak terhadap rancangan yang diajukan tersebut.
2.7
Perkembangan Politik Kesehatan di Indonesia
1.
Politik Kesehatan di
Indonesia
Jika kaya di Indonesia, kita bisa mendapatkan kedudukan
kesehatan, meskipun Anda mungkin harus pergi ke Singapura atau Malaysia untuk
mendapatkannya. Bagi orang Indonesia miskin, dan bahkan bagi banyak orang di
kelas menengah, pilihannya adalah tidak begitu baik.
Perubahan
politik adalah pedang bermata dua bagi kesehatan. Beberapa tantangan besar
mempengaruhi sektor ini, serta beberapa sumber dinamisme, timbul dari
desentralisasi. Sejak jatuhnya pemerintahan otoriter Soeharto pada tahun 1998,
desentralisasi politik dan fiskal telah menghasilkan satu set kompleks
tantangan untuk pemrograman kesehatan. Di satu sisi, desentralisasi pelayanan
kesehatan menciptakan peluang bagi visioner pemimpin lokal untuk mengembangkan
program kesehatan yang ditargetkan untuk para pemilih. Tetapi juga telah
membuat sistem rentan terhadap politik kekuasaan lokal dan korupsi dicentang,
dan melanggengkan kesenjangan antara daerah kaya dan miskin.
Akurat
atau terlambat diagnosa, fasilitas tidak memadai dan pengobatan, biaya yang
berada di luar jangkauan: semua ini adalah bagian dari pengalaman sehari-hari
kesehatan bagi jutaan rakyat Indonesia. Akibatnya, setiap tahun, warga yang tak
terhitung negara meninggal akibat kondisi yang seharusnya dicegah atau
disembuhkan. Ini edisi khusus Indonesialooks dalam pada masalah yang menimpa
kesehatan, dan mencari tanda-tanda harapan di tengah perubahan politik yang
membentuk kembali Indonesia sebagai masyarakat yang lebih demokratis.
Kekuatan sosial dan politik yang telah
menghasilkan hasil yang tidak merata seperti untuk sektor kesehatan di
Indonesia selama masa transisi negara menuju demokrasi. Sementara perekonomian
Indonesia tumbuh dengan pesat, pemerintah terus menghabiskan lebih sedikit pada
kesehatan per kapita dibanding negara-negara tetangganya dengan profil ekonomi
yang sama, indikator kunci kesehatan - seperti rasio penyedia kesehatan untuk
penduduk - juga tertinggal. Maka
timbullah pertanyaan-pertanyaan yang kompleks seperti apa
yang memegang Indonesia kembali?' Apa yang memotivasi pejabat terpilih,
profesional kesehatan dan konsumen untuk membuat keputusan yang mereka buat?
Dan apa hasil bagi masyarakat yang paling rentan di Indonesia?
Jenis disfungsi yang mengganggu sektor:
dari ketidakhadiran di klinik kesehatan dengan rincian dalam berbagi informasi
penting antara kabupaten dan pusat. Pisani menyalahkan insentif politik condong
untuk banyak disfungsi ini. Misalnya, pejabat daerah yang terpilih berinvestasi
dalam infrastruktur kesehatan yang mahal dan mencolok untuk meningkatkan profil
politik mereka, daripada mengatasi kebutuhan kesehatan yang lebih kompleks.
Tetapi transisi demokrasi juga membawa perubahan positif. Pisani poin bagaimana
pemilihan langsung memberikan tekanan pada politisi lokal untuk menjawab
tuntutan konstituen mereka untuk layanan kesehatan yang lebih baik. Sebagai
harapan masyarakat meningkat, ia berharap, demikian juga akan kualitas
pelayanan.
Edward
Aspinall dan Hawa Warburton menganalisis hubungan antara politik elektoral dan
munculnya skema kesehatan lokal. Kampanye populis yang menjanjikan kesehatan
gratis sekarang biasa dalam pemilihan provinsi di seluruh negeri dan kabupaten.
Tren ini mengungkapkan bagaimana politisi lokal terlibat dengan tuntutan
pemilih mereka dengan cara baru dan progresif. Bahkan jika biaya kesehatan
mulai turun bagi banyak orang, namun, ini tidak selalu berarti kualitas yang
membaik.
Aktivis
kesehatan reproduksi, Inna Hudaya, menawarkan wawasan ke dalam penderitaan
perempuan muda yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan. Dia
menjelaskan bagaimana stigma sosial dan hukum diskriminatif memaksa perempuan
menjadi berbahaya, dunia trauma dan kadang-kadang fatal aborsi ilegal. Dalam
kasus ini, juga, politik memainkan peran, tetapi merupakan politik
konservatisme sosial yang menolak kontrol perempuan atas tubuh mereka.
Untungnya, organisasi baru yang dijalankan oleh orang-orang seperti Inna
berjuang untuk mengubah hukum diskriminatif dan untuk membantu perempuan
menemukan informasi dan layanan yang mereka butuhkan.
2. Politik
Membangun Kesehatan Bangsa
Menteri Kesehatan – dr. Nafsiah
Mboi, SpA. MPHPemaparan terkait politik kesehatan tidak akan terlepas dengan
isu politik nasional menyongsong “2014 sebagai Tahun Politik”. Pergantian
kabinet baru dan kepala daerah beresiko terhadap berhentinya kebijakan
kesehatan baik secara nasional ataupun lokal di daerah. Era reformasi menjadi
tonggak pergantian sistem, termasuk sistem kesehatan, sehingga banyak kebijakan
politik yang terlantar pada saat ada banyak kabupaten/kota yang berganti kepala
dinas, padahal di kabupaten/kota tersebut sistem kesehatan dasar harusnya
menjadi prioritas utama. Bahkan banyak kepala daerah bukan merupakan orang yang
konsen pada isu kesehatan dan ada kepala dinas kesehatan yang bukan merupakan
orang kesehatan. Fenomena tersebut menjadi penekanan agar jangan sampai
pergantian politik menjadi hambatan dalam pembangunan kesehatan. Kepala daerah
hendaknya dipilih yang care kepada kesehatan, sehingga akan mengalokasikan APBD
untuk pembangunan kesehatan di daerahnya.
Komitmen politik pemerintah pada
kesejahteraan masyarakat adalah menciptakan Indonesia yang adil dan makmur,
sehingga sektor kesehatan tetap menjadi prioritas politik. Pemaparan politik
kesehatan Indonesia yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah
Mboi, SpA. MPH berorientasi pada Kerangka Acuan KONAS IAKMI XII tentang angka
IPM, AKI, Balita, dan AKB yang masih membutuhkan perhatian. Renstra Kementrian
Kesehatan 2010-2014 yaitu masyarakat yang sehat mandiri dan berkeadilan
dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat, pelayanan kesehatan yang paripurna,
ketersediaan SDM kesehatan, dan good governance. Kementrian Kesehatan berserta
jajaran di bawahnya tetap berkomitmen untuk peningkat akses pelayanan kesehatan
masyarakat yang komprehensif dan bermutu.
Selama ini program pengobatan gratis
sering dibakai untuk kampanye kapala daerah, karena memang isu jaminan pada
perolehan pelayanan kesehatan saat sakit merupakan hal yang masih menjadi beban
bagi masyarakat Indonesia. Kementrian Kesehatan RI terus mengusahakan penyelesaian
masalah pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia. Program Nasional yang akan
segera diluncurkan adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2014.
Pada akhir Desember 2019 ketika program BPJS menargetkan Total Health Coverage
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Banyak isu yang muncul sebagai reaksi dari
progam tersebut diataranya adalah peran serta masyarakat, kecukupan tenaga
pendidikan dan kecukupan fasilitas kesehatan.
Isu yang melemahkan tersebut menurut
data nasional yang disampaikan oleh Mentri Kesehatan RI sudah bukan lagi
merupakan ancaman. Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan terus
dikembangkan, baik itu lewat Posyandu, poskesdes, posbindu PTM, atau posmaldes
diharapkan dapat terus ditingkatkan. Ketersediaan tenaga kesehatan sudah
mendekati target secara nasional. Kesempatan dan upaya peningkatan jumlah
tenaga kesehatan diupayakan lewat berbagai macam beasiswa yang ditawarkan.
Pemerataan tenaga kesehatan diharapkan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah
untuk dapat mengikat putra daerahnya sehingga setelah selesai studi dapat
kembali ke daerah dan betah kerja di daerah. Daerah dapat merencanakan
kebutuhan tenaga kesehatannya dan mengajukan untuk pepenuhan tenaga kesehatan
di daerah. Ketersediaan fasilitas kesehatan secana nasional sudah siap, tetapi
ada ketimpangan karena ada daerah yang memiliki banyak RS ada yang kekurangan.
Hal tersebut dapat diatasi dengan regulasi dan kebijakan yang tegas pada saat
ijin pendirian dan pengembangan RS. Pada akhir pemaparan Menteri Kesehatan RI
mengharapkan dapat bekerja sama dengan IAKMI untuk menidentifikasi
strategi-strategi yang inovatif untuk mengoptimalkan peningkatan derajad
kesehatan masyarakat Indonesia. Selain itu ada tantangan yang diajukan agar
IAKMI dapat mempengaruhi keputusan politik di Indonesia demi kesehatan
masyarakat.
3. Politik Kesehatan dan
Kemiskinan
Kemiskinan
merupakan salah satu dimensi yang sangat menjadi perhatian dalam konteks
politik kesehatan. UUD kita menegaskan bahwa masyarakat miskin ditanggung oleh
negara termasuk dalam hal jamianan pelayanan kesehatannya. Berkaitan dengan hal
itu menarik untuk menelaah tulisan A.Maulani (peneliti Pusat studi Asia pasifik
,UGM) yang dimuat di situs Antaranews.com . Dia mengutip pernyataan mantan
Menkes Siti Fadillah Supari “Tuntut rumah sakit yang tidak mau menerima
pasien yang memiliki kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Kalau
masyarakat miskinnya yang tidak punya Jamkesmas, tuntut Pemdanya”, dalam sebuah
rapat kerja dengan DPRRI (9/02/09).
Pernyataan
keras tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa banyak lembaga kesehatan yang
hanya berorientasi ekonomi semata, yang kurang berpihak masyarakat miskin.
Mereka selalu saja menjadi korban bahkan bulan-bulanan oleh sebuah sistem.
Kesehatan dalam konteks ini hanya dipandang sebagai perkara medis belaka.
Fungsi sosial yang seharusnya juga diemban RS ternyata terkikis oleh hasrat
penumpukan laba semata.
Dengan
jumlah 35 juta lebih orang miskin di Indonesia, maka sudah saatnya Negara
mengambil prakarsa untuk melindungi mereka agar berbagai lembaga kesehatan
serta hal lain yang terkait seperti rumah sakit, poliklinik, puskesmas, harga
obat, serta dokter tidak justru menjadi mesin yang menggilas mereka yang miskin
dan menjadikan siklus kemismikan kian tak berujung. Itulah kira bentuk politik
kesehatan yang harus dijalankan Negara. Seperti dikatakan Jeffrey Sachs dalam
buku The End of Poverty (2005) bahwa banyak hal yang menyebabkan seseorang akan
semakin terperangkap dalam “jebakan kemiskinan”. Salah satunya adalah tiadanya
human capital di mana salah satu variabelnya adalah dalam wujud akses kesehatan
yang memadai dan terjangkau.
4. Komitmen Pemerintah Terhadap Kesehatan Dinilai Masih
Lemah
Sejumlah kalangan
menilai komitmen pemerintah terhadap masalah kesehatan di Indonesia masih
sangat lemah. Hal ini terlihat baik dari sisi politik anggaran maupun regulasi
yang belum pro terhadap kesehatan masyarakat.
Ketua
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo,pakar kesehatan dari
Universitas Hassanudin Prof Razak Thaha dan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) Zainal Abidin dan pendiri Maarif Institute Ahmad Safii Maarif menilai
pergantian pimpinan/penguasa terus terjadi,namun masalah kesehatan tetap
berjalan di tempat.
Pertanyannya,setahun
menjelang pemilu 2014,masihkah kesehatan rakyat mendapatkan perhatian. Mereka
mengimbau maraknya politik nasional menjelang pemilu 2014 tidak boleh
mempengaruhi berbagai program pembangunan kesehatan yang telah dicanangkan.
Sudaryatmo,mengatakan,
dari sisi politik anggaran kesehatan dan pendidikan,komitmen pemerintah
Indonesia dibanding negara lain masih ketinggalan. Ini terlihat dari alokasi
untuk pendidikan dan kesehatan dari total Produk Domestik Bruto (GDP),Indonesia
paling rendah dari negara lain yaitu 2%. Sedangkan Kamboja 4%,Laos mendekati
5%,Malaysia 10%,Philipina 15% dan Thailand hampir 7%.
“Jadi dari
sisi politik anggaran pemerintah memang belum berpihak pada isu kesehatan dan
pendidikan. Minimnya anggaran kesehatan menimbulkan banyak persoalan seperti
kematian ibu dan balita karena kurang mendapatkan dukungan memadai,” kata
Sudaryatmo pada acara refleksi setahun menjelang Pilpres 2014 yang
digalar IDI di Jakarta, Senin (14/1). Hadir pula Wakil Menteri Kesehatan Ali
Ghufron Mukti.
Menurut
Sudaryatmo,dibanding kesehatan,pemerintah lebih komitmen dan disiplin untuk
membayar hutang. Untuk pendidikan dan kesehatan hanya 2% dari GDP, tetapi untuk
bayar hutang mencapai 10%. Lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja
kurang dari 1%,Laos 3%,Malaysia 8%. Walaupun Philipina juga cukup tinggi yakni
12% dan Taiwan 15%, namun rasio antara anggaran kesehatan dengan membayar
hutang seimbang, sedangkan di Indonesia sangat jomplang.
Ketidakberpihakan
pemerintah terhadap isu kesehatan dan pendidikan juga terlihat dari struktur
APBN 2013. Mengutip data Kementerian Keuangan,menurut Sudaryatmo,dari total
APBN sebesar Rp 1,683 triliun,dialokasikan dominan ke sejumlah sektor. Di
antaranya infrastruktur Rp 201,3 triliun (11,96),pertahanan negara Rp118,3
triliun (7,02%),subsidi Rp317,2 triliun (18,84%),transfer ke daerah Rp 526,6
triliun (31,4%).
Struktur
anggaran ini menunjukkan sebagian besar untuk subsidi,bahkan lebih besar dari
pembangunan infrastruktur. Padahal, kata dia,sebagian besar subsidi tidak jelas
sasaran dan implikasinya terhadap perbaikan masalah di masyarakat.
Subsidi BBM
misalnya mencapai Rp 193,8 triliun (61,2%) dari total anggaran subsidi.
Dibanding subsidi listrik yang sebesar Rp 80,9 triliun
(25,51%), subsidi BBM bermasalah karena pemerintah tidak memiliki data dan
pertanggungjawaban soal penerima maupun besarannya. Menurutnya, misteri subsidi
BBM akan menjadi catatan hitam sejarah ekonomi kontemporer Indonesia. “Padahal
untuk mengatasi masalah kesehatan,menurut para pakar tidak sampai membutuhkan
anggaran sebesar subsidi BBM,” katanya.
Razak Thaha
mengatakan,meskipun Indonesia selalu bangga memiliki pendapatan perkapita atau
pertumbuhan ekonomi lebih dari negara tetangga,tetapi dalam masalah kesehatan
tidak lebih baik.
Masalah gizi
di Indonesia misalnya belum mengalami penurunan signifikan. Di antaranya
Indonesia merupakan negara kelima dengan jumlah orang
pendek (stunting) paling banyak di dunia, selain
Tiongkok,India,Pakistan,Nigeria dan bahkan di atas Vietnam. WHO
mencatat 90% anak pendek ada di 36 negara berkembang,termasuk Indonesia.
mencatat 90% anak pendek ada di 36 negara berkembang,termasuk Indonesia.
Menurutnya,
orang pendek merupakan representasi dari kemiskinan di setiap provinsi. Di mana
ada lumbung kemiskinan di situ orang pendek lebih banyak, seperti di NTT,Papua
Barat dan NTB. Mereka terlahir dari ibu-ibu yang juga miskin dan
kekurangan gizi.
Di satu sisi jumlah anak gemuk juga semakin bertambah. Anak gemuk adalah calon-calon penderita penyakit tidak menular di kemudian hari,seperti hipertensi,stroke,jantung dan diabetes.
Di satu sisi jumlah anak gemuk juga semakin bertambah. Anak gemuk adalah calon-calon penderita penyakit tidak menular di kemudian hari,seperti hipertensi,stroke,jantung dan diabetes.
“Padahal
anggaran untuk gizi melalui pagu kesehatan terus meningkat, bahkan saat puncak
resesi ekonomi. Tahun 2000 anggarannya baru sekitar Rp 21 miliar,tetapi naik
tujuh kali lipat atau Rp 700 miliar di tahun 2007. Tetapi status gizi malah
tambah jelek,lalu kemana anggaran itu,” katanya.
Ali Ghufron
Mukti,mengatakan, pemerintah sudah cukup memberikan perhatian serius pada
masalah kesehatan. Buktinya, hampir tidak ada negara di dunia ini yang menjamin
86,4 juta warganya untuk berobat gratis seperti yang dilaksanakan oleh
Indonesia. Selain itu, progam Jampersal menjamin persalinan gratis untuk
semua ibu hamil.
“Dari sisi
anggaran memang dari persentase masih di bawah 2,1% dari total APBN, tetapi
nominal-nya terus meningkat setiap tahun. Tahun ini sebesar Rp 32 triliun, dan
2014 diperkirakan mencapai sekitar Rp 40 triliun,” katanya.
Zainal
Abidin,mengatakan,anggaran kesehatan setiap tahun hanya berkisar di 2% dari
total APBN. Karena itu IDI mengimbau pemerintah untuk menaikannya sesuai dengan
UU Kesehatan 36/2009,yakni minimal 5% di luar gaji pegawai. Secara politis,kata
dia,pemerintah memiliki tanggung jawab konstitusi untuk menjalankan Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan baik. [D-13]
“Mengapa komitmen Negara dalam bentuk politik
kesehatan menjadi penting? Perlu dicatat bahwa kondisi orang miskin di negeri
ini sudah berada dalam kondisi seperti yang digambarkan James C. Scott (1983):
seperti orang yang terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang
kecil sekalipun akan menenggelamkannya. Ombak kecil dalam konteks ini saya kira
bisa berupa mahalnya biaya rumah sakit dan juga obat-obatan.
Pada titik
inilah penting mengkorelasikan hubungan antara sektor kesehatan dan kebijakan
politik sebagai bentuk konkrit dari kebijakan kesehatan. Banyak bukti yang
menunjukkan bagaimamana kemiskinan ternyata ikut memperkeruh persoalan
kesehatan. Data Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks/HDI) yang
memasukkan tiga parameter penting dalam menghitung tingkat kesejahteraan, yaitu
pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. menunjukkan bahwa peringkat kesejahteraan
Indonesia pada tahun 2010 berada di urutan 124 dari 185 negara. Dibanding
Negara-negara ASEAN.
IKM ini mengukur
kualitas SDM melalui beberapa indikator yang berupa; presentase penduduk di bawah
garis kemiskinan, angka buta huruf, proporsi penduduk yang kemungkinan
meninggal sebelum 40 tahun, proporsi penduduk tidak mempunyai akses terhadap
air bersih, serta persentase balita dengan gizi buruk.
Mencermati data
tersebut tampaknya sudah saatnya kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil
pemerintah juga mempertimbangkan implikasi-implikasinya terhadap sektor
kesehatan. Pemukiman yang sehat, nutrisi yang lebih baik, serta keringanan
biaya kesehatan adalah salah satu bentuk implementasinya.
Karena itu,
rumah sakit, baik negeri maupun swasta, harus didorong untuk melaksanakan
proyek penanganan kesehatan khusus di daerah-daerah miskin. Karena itu program
Depkes yang bersinggungan langsung dengan masyarakat kecil seperti program Desa
Siaga yang mensyarakatkan adanya Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) di dalamnya,
Program Poskestren (Pos Kesehatan Pesantren), Musholla Sehat, dan juga Posyandu
perlu didorong dan dikawal keberlangsungannya sebagai bentuk komitmen pada
dunia kesehatan.
Satu hal yang
kira penting diketahui bahwa untuk masyarakat yang tinggal dipedesaan yang
terpencil atau pedalaman akses pada layanan kesehatan adalah barang langka.
Karena itu keberpihakan pemerintah dalam bentuk politik kesehatan untuk
mendahulukan serta melindungi mereka yang kurang mampu kiranya adalah salah
satu wujud affirmative action dibidang kesehatan.
Sekali
lagi, adalah naïf bila perkara kesehatan lagi-lagi diserahkan pada mekanisme
pasar bebas. Maka peran paling minimal yang bisa dilakukan Negara adalah lewat
kebijakan publik, yang oleh Evans (1998) disebut sebagai custodian role. Yakni
sebuah peran Negara untuk melindungi, mengawasi serta mencegah prilaku
segelintir kelompok yang dapat merugikan masyarakat banyak. Dalam konteks
kesehatan, maka pemerintah wajib melakukan kontrol atas pelayanan kesehatan
yang merugikan masyarakt miskin.
Status
miskin sama sekali tidak bisa menghapus tugas Negara untuk menjamin
perlindungan atas mereka, apalagi jaminan untuk hidup dalam lingkungan yang
sehat. Masyarakat miskin akan terus-menerus menjadi korban bila kesehatan hanya
diukur berdasarkan kemampuan seseorang dalam mengeluarkan biaya. Karenanya
keberpihakan Negara yang tegas dan jelas harus dibangun agar keseimbangan hidup
rakyat yang selama ini tersisih dan terkoyak bisa pulih kembali.
Penjelasan
diatas secara jelas menunjukkan hubungan yang sangat erat antara poltik
kesehatan dan kemiskinan. Tentu para pemimpin politis baik di tingkat Pusat
maupun daerah memahami betul konteks peran Negara (pemerintah)
dalam mencover jaminan kesehatan bagi penduduk miskin sebagai bentuk tanggung
jawab politik, terutama berdasarkan pada isu –isu yang diungkapkan saat
kampanye. Bila ini tidak diperhatikan dan dibenahi, pemerintah akan berutang
kepada masyarakat. Politik kesehatan yang dilaksanakan secara sehat,
sistematis, dan sesuai
dengan prinsip good governance tentunya akan selalu menjadi harapan bagi
masyarakat yang telah memilihnya sebagai pemimpin.
5.
Dinamika Politik Harus Membangun Kesehatan Bangsa
Secara
umum, politik kesehatan itu sendiri merupakan interaksi antara pemerintah dan
masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang terkait
permasalahan kesehatan. Keputusan yang dihasilkan bersifat mengikat dan
bertujuan pada kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu
wilayah tertentu. Tetapi dalam realisasi di lapangan justru selalu ada pihak
yang dikorbankan atau dirugikan. Hal ini akibat dinamika politik
berkembang dengan berbagai cara demi kepentingan satu pihak saja.
Tampaknya dinamika politik hingga tahun 2013 ini justru malah membawa bangsa
ini semakin mengesampingkan masalah kesehatan, yang seharusnya menjadi modal
dasar dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Berbicara
mengenai politik kesehatan di Indonesia tentu tidak bisa terlepas akan adanya
kepentingan dan perkembangan politik di setiap daerah maupun proses
kepemimpinan di daerah itu sendiri. Secara umum perkembangan politik yang
membangun kesehatan bangsa di daerah akan sangat dipengaruhi oleh gaya
kepemimpinan pusat, daerah maupun pemimpin di sektor kesehatan suatu wilayah
selain permasalahan anggaran.
Sebuah
contoh catatan politik yang mungkin bisa disebut sebagai upaya politik dalam
membangun bangsa melalui sektor kesehatan ialah berubahnya sistem sentralistik
menuju desentralisasi. Di Indonesia sendiri desentralisasi dimulai pasca
reformasi sekitar tahun 1999-2000, yang kini tercatat dalam sejarah penting dan
ikut mewarnai dunia perpolitikan Indonesia khususnya bidang kesehatan. Hal itu
ditandai dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
membawa angin baru bagi pemerintahan di Indonesia dari sentralistik menjadi
desentralisasi. Desentalisasi kesehatan dimana pemerintah daerah diberikan
wewenang untuk mengatur sektor sistem kesehatan di daerahnya. Dalam prosesnya,
pemerintah daerah sangat tergantung pada beberapa faktor, yaitu dukungan
pembiayaan, kerja sama lintas sektor, dan berbagai faktor lainnya yang terkait
dalam menyukseskan sistem kesehatan di daerahnya.
Tahun
2004 juga telah dilakukan suatu “penyesuaian” terhadap SKN (Sistem Kesehatan
Nasional) 1982. Di dalam dokumen dikatakan bahwa SKN didefinisikan
sebagai suatu tatanan yang menghimpun upaya bangsa Indonesia secara
terpadu dan saling mendukung, guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam Pembukaan UUD
1945. Baru setelah itu muncul UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan yang
kemudian disempurnakan menjadi UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai
aturan dasar bidang kesehatan di Indonesia.
6. Politisasi Anggaran Kesehatan
6. Politisasi Anggaran Kesehatan
Jika
kita cermati bersama dari sisi politik anggaran kesehatan, komitmen pemerintah
daerah di Indonesia dibanding negara lain masih jauh ketinggalan. Hal ini
terlihat dari alokasi untuk kesehatan dari total Produk Domestik Bruto (GDP),
secara umum Indonesia paling rendah dari beberapa negara lain yaitu hanya 2-3
%. Sedangkan Laos mendekati 5%, Malaysia 10%, Philipina 15% dan Thailand hampir
7%. Padahal dalam UU No.36 tentang Kesehatan, besar anggaran kesehatan
pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran
pendapatan dan belanja negara di luar gaji. Sedangkan besar anggaran kesehatan
pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh
persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Besaran
anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud diprioritaskan untuk kepentingan
pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah. Faktanya politik anggaran kesehatan hingga tahun
ini belum terealisasi sesuai minimal anggaran kesehatan dan hal inilah yang
terlihat bahwa politik Indonesia selama ini belum membangun kesehatan. Sebelumnya,
Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI, menjelaskan bahwa untuk tahun 2014, pagu
indikatif Kemenkes sebesar Rp 24,67 triliun. Itu berarti menurun cukup
signifikan, hampir mencapai 30 persen dibandingkan tahun 2013. Kepada siapa
lagi mau berharap jika di saat isu BBM naik justru malah anggaran kesehatan
bangsa kita semakin anjlok. Kini rakyat semakin jauh dari mimpi dimana
visi Indonesia Sehat akan tercapai dengan anggaran yang semakin menurun dari
tahun sebelumnya. Terlebih di saat harga Bahan Bakar Minyak dan kebutuhan
lainya meningkat.
7. Politisasi Undang-Undang dan Kebijakan Kesehatan
7. Politisasi Undang-Undang dan Kebijakan Kesehatan
Selama
ini arah pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan masih mengutamakan tenaga kuratif
dibandingkan promotif dan preventif. Hal ini tidak sesuai dengan rencana
pembangunan jangka menengah (RPJMN) 2010-2024, dimana upaya kuratif semakin
dikurangi dan upaya promotif dan preventif semakin ditingkatkan. Faktanya
justru kebutuhan tenaga perawat dan dokter yang merupakan tenaga
penunjang saat sakit lebih diutamakan pemerintah dibandingkan tenaga Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM) yang merupakan ujung tombak kesehatan masyarakat
yang bertugas menyelamatkan yang sehat supaya tidak sakit.
Jadi
dari sisi politik anggaran pemerintah daerah dan pusat memang belum berpihak
pada program kesehatan yang telah direncanakan. Minimnya anggaran kesehatan
tersebut tentu akan menimbulkan banyak persoalan seperti kematian ibu dan
balita, penyakit menular, penyakit kronik atau tidak menular, yang secara
global akan berdampak kepada menurunya kesehatan masyarakat, produktifitas
manusia, dan angka harapan hidup, distribusi dan kualitas tenaga kesehatan,
yang dampaknya justru akan merugikan negara secara sistemik.
Permasalahan
yang terjadi selama ini, telah banyak dilakukan pergantian pemimpin,
tetapi permasalahan kesehatan ibarat jalan ditempat. Padahal sebagian
permasalahan kesehatan justru malah makin meluas dan komplek. Selain hal
itu, tidak sedikit pula dalam setiap pergantian pemimpin daerah yang baru maka
muncul pula program baru yang justru kurang mendukung program-program periode
kepemimpinan sebelumnya. Akibatnya fokus penyelesaian masalah kesehatan di
daerah tidak berkembang secara konsisten dan berkelanjutan.
Jika
penulis analogikan secara sederhana, bahwa sehat memang bukan segalanya, tetapi
jika kita tidak sehat, maka segalanya akan sia-sia. Oleh karena itu dinamika
politik tahun 2014 yang harus dipersiapkan sejak tahun 2013 ini melalui
pencalonan presiden, gubernur/walikota, anggota DPR dan DPRD haruslah
diorientasikan untuk membangun kesehatan bangsa. Sistem kesehatan bangsa dan
daerah yang mudah, efektif dan efisien harus menjadi pondasi sekaligus
ujung tombak negara. Hal ini menjadi sangat penting jika pendapatan daerah dan
negara ingin meningkat, begitu pula kesejahteraan dan kemakmuran rakyat masih
menjadi tujuan utama bangsa, sesuai empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD
1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Politik
dalam arti kepentingan umum adalah suatu rangkaian azas/prinsip, keadaan serta
jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau
suatu keadaan yang kita kehendaki disertai dengan jalan, cara dan alat yang
akan kita gunakan untuk mencapai tujuan yang kita inginkan. Politik memiliki pengaruh begitu besar
terhadap kebijakan dan pengembangan di bidang kesehatan.
Politik
Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan derajat kesehatan
masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem ketatanegaraan yang dianut
dalam sebuah wilayah atau negara .
Politik
kesehatan atau kebijakan kesehatan memang akhirnya ditentukan oleh keputusan
politik. Kalau kehidupan politik di suatu Daerah tidak sehat, jangan harap
kesehatan masyarakat di daerah itu akan diurus dengan sehat pula. Politik yang
sakit akan membiarkan rakyatnya sakit. Kemiskinan
ternyata ikut memperkeruh persoalan kesehatan.
3.2
Saran
Demikian uraian materi tentang Politik dalam Kesehatan, Semoga
kebijakan-kebijakan politik kesehatan di indonesia bisa terlaksana dengan baik
dan semua rakyat Indonesia bisa menikmati haknya untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang baik dan layak dan memiliki kesempatan yang sama untuk
mendapatkan jeminan kesehatan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Aminullah, S, 2000, Peranan
Legislator Dalam Upaya Meningkatkan Pembiayaan Kesehatan di Indonesia
Aminullah, S,2005, Peranan Anggota
Muda IAKMI dalam Mendorong Lahirnya VISI BARU KESEHATAN
INDONESIA untuk mempercepat Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Aminullah, S,2005, Komitmen Politik
Oleh ”Aktor-Aktor” Politik Guna Mewujudukan Indonesia Sehat 2010
http://pcim-rusia.org/dinamika-politik-harus-membangun-kesehatan-bangsa/,
akses tgl 25/06/2013.
http://fujihusada.blogspot.com/p/pengantar-tentang-kebijakan-kesehatan.html
0 komentar:
Posting Komentar