MAKALAH
Belajar,
Mengingat dan
Berpikir
Disusun
Oleh :
1. Indah
Puspa Pratiwi
2. Yuliyanita
3. Rima
Wulandari
4. Eneng
Firasati Lailiya
5. Widya
Marwah
6. Lisnawati
7. Elya
Nuraeni
8. Nurmalia
9. Aida
Fitria Qisti
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN KOTA SUKABUMI
Jalan
Babakan Sirna No. 25 Kota Sukabumi
2013
KATA
PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada kelompok kami sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul :“
Belajar, Mengingat dan
Berpikir”. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata ajar Psikologi
Keperawatan.
Kami
menyadari bahwa didalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik dan oleh karena itu dengan rendah hati kami berharap
kepada pembaca untuk memberikan masukan, saran dan kiritik yang sifatnya
membangun guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya
kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Sukabumi, Desember 2013
Penulis
DAFTAR ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
a. Pengertian
belajar
b. teori
balajar
c. proses
belajar
d. jenis-jenis
belajar
e. factor
yang mempengaruhi proses belajar
f. perspektif
dalam belajar
g. pengkondisian
klasik dan pengkondisian
operan
h. Prinsip
belajar efektif
i.
pengertian memori
j.
memori jangka pendek
k. memori jangka panjang
l.
memori implisit dan konstruktif
m. meningkatkan
daya ingat
n. penalaran
o. proses
berpikir
p. berpikir
imaginer
q. perkembangan
bahasa dan komunikasi
BAB
III PENUTUP
a.
Kesimpulan
dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah
Pengertian
belajar?
2.
Jelaskan
teori
balajar!
3.
Bagaimana
proses
belajar berlangsung?
4.
Sebutkan
jenis-jenis
dan faktor yang mempengaruhi belajar!
5.
Jelaskan
Prinsip
belajar efektif!
6.
Apakah
pengertian
memori dan jenis-jenis memori?
C. Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian
belajar
2.
Memahami
teori
balajar
3.
Mengetahui proses belajar berlangsung
4.
Menyebutkan
jenis-jenis
dan faktor yang mempengaruhi belajar
5.
Mengetahui
prinsip
belajar efektif
6.
Memahami
pengertian
memori dan jenis-jenis memori?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Belajar
Belajar
merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu secara sadar untuk
memperoleh perubahan tingkah laku tertentu baik yang dapat diamati secara
langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung sebagai pengalaman
(latihan) dalam interaksinya dengan lingkungan.
Di bawah ini disampaikan tentang
pengertian belajar dari para ahli :
Moh.
Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan
oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan,
sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan
lingkungannya”.
Witherington (1952) : “belajar merupakan
perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons
yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”.
Crow & Crow dan (1958) : “ belajar
adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”.
Hilgard (1962) : “belajar adalah proses
dimana suatu perilaku muncul perilaku muncul atau berubah karena adanya respons
terhadap sesuatu situasi”
Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar
adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman”.
Gage & Berliner : “belajar adalah
suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul karena pengalaman”.
Dari beberapa
pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan
perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan
perilaku, yaitu :
1. Perubahan
yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan
perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang
bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya
semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum
dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar
tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha
mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar
Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan
perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.
2. Perubahan
yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya
pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan
dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga,
pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi
dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya.
Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat
Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka
pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan
dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi
Belajar Mengajar”.
3. Perubahan
yang fungsional.
Setiap perubahan
perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang
bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang.
Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka
pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan
untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari
dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.
4. Perubahan
yang bersifat positif.
Perubahan
perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan.
Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan
menganggap bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan
perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta
didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia
memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan
individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi
guru.
5. Perubahan
yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh
perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan.
Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi
pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan
mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang
psikologi pendidikan dan sebagainya.
6. Perubahan
yang bersifat pemanen.
Perubahan
perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi
bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan
komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan
menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.
7. Perubahan
yang bertujuan dan terarah.
Individu
melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan
jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang
mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang
pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang
psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh
nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif
dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai
aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
8. Perubahan
perilaku secara keseluruhan.
Perubahan
perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi
termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya,
mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi
atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap
tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga,
dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
Menurut Gagne
(Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar
dapat berbentuk :
1.
Informasi verbal;
yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun
tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan
sebagainya.
2.
Kecakapan intelektual;
yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya
dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika.
Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination),
memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini
sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
3.
Strategi kognitif;
kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan
aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu
kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas
yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran,
sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
4.
Sikap;
yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam
tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri
individu yang akan memberikan kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu
obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang
menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.
5.
Kecakapan motorik;
ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot
dan fisik.
Sementara
itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :
Kebiasaan; seperti : peserta didik
belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau
struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa
secara baik dan benar.
Keterampilan; seperti : menulis dan
berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu
memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.
Pengamatan; yakni proses menerima,
menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera
secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.
Berfikir asosiatif; yakni berfikir
dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya
ingat.
Berfikir rasional dan kritis yakni
menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab
pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).
Sikap yakni kecenderungan yang relatif
menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang
tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.
Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).
Apresiasi (menghargai karya-karya
bermutu.
Perilaku afektif yakni perilaku yang
bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang,
benci, was-was dan sebagainya.
B.
Teori
Balajar
Jika
menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang
bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini akan
dikemukakan empat jenis teori belajar, yaitu:
A.Teori
Behaviorisme
Behaviorisme
merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi
fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata
lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan
individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan
behaviorisme ini, diantaranya :
1. Connectionism ( S-R
Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen
yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya:
1.
Law of Effect;
artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka
hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan
efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubunganyang terjadi
antara Stimulus- Respons.
2.
Law of Readiness;
artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal
dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini
menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.
3.
Law of Exercise;
artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah
erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau
tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut
Ivan Pavlov
Dari eksperimen
yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya :
1.
Law of Respondent Conditioning yakni
hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara
simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan
stimulus lainnya akan meningkat.
2.
Law of Respondent Extinction yakni
hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melaluiRespondent
conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer,
maka kekuatannya akan menurun.
3.
Operant Conditioning menurut
B.F. Skinner
Dari eksperimen
yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung
merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1.
Law of operant conditining yaitu
jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan meningkat.
2.
Law of operant extinction yaitu
jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses
conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku
tersebut akan menurun bahkan musnah.
3.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku
yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant
conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang
ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada
dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah
respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus
lainnya seperti dalam classical conditioning.
4.
Social Learning menurut
Albert Bandura
Teori belajar sosial
atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah
teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar
lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme
lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata
refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang
timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu
itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari
individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation)
dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang
pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang
individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu
dilakukan.
Sebetulnya masih
banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini,
seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan,
Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang
menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The
Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible
Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
B.Teori Belajar
Kognitif menurut Piaget
Piaget merupakan
salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme.
Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk
memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan
perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu
meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre
operational; (3) concrete operational dan (4) formal
operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi
pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005)
menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes
material into their mind from the environment, which may mean changing the
evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the
difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya
pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan
untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi
dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari
guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta
didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan
berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi
teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1.
Bahasa dan cara berfikir anak berbeda
dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa
yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2.
Anak-anak akan belajar lebih baik
apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar
dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3.
Bahan yang harus dipelajari anak
hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4.
Berikan peluang agar anak belajar sesuai
tahap perkembangannya.
5.
Di dalam kelas, anak-anak hendaknya
diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
C.
Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara
kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi
internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil
belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam
proses pembelajaran.
Menurut Gagne
tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2)
pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6)
generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.
D.Teori Belajar
Gestalt
Gestalt berasal
dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau
konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa
tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan.
Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting
yaitu :
1.
Hubungan bentuk dan latar (figure and
gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat
dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang.
Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya
membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat
samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan
figure.
2.
Kedekatan (proxmity); bahwa
unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang
pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3.
Kesamaan (similarity); bahwa
sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek
yang saling memiliki.
4.
Arah bersama (common direction);
bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung
akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
5.
Kesederhanaan (simplicity); bahwa
orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan
reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan
simetris dan keteraturan; dan
6.
Ketertutupan (closure) bahwa
orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang
tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi
yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
Perilaku “Molar“
hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku
“Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya
kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan
lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola
adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna
dibanding dengan perilaku “Molecular”.
Hal yang penting
dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan
lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya
ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak.
Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah.
(lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang
penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
Organisme tidak
mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan
tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya
penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan
sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan
tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
Pemberian makna
terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang
dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan
merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap
rangsangan yang diterima.
Transfer dalam
Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran
tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar
terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi
dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi
lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan
prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun
ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan
terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari
suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam
memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya
dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi
yang diajarkannya.
C.
Proses
Belajar
Proses adalah kata yang berasal dari bahasa latin “processus” yang berarti
“berjalan ke depan”. Kata ini mempunyai konotasi urutan langkah atau kemajuan
yang mengarah pada suatu sasaran atau tujuan. Menurut Chaplin (1972), proses
vadalah: Any change in any object or organism, particulary a behaioral or
psychological change (Proses adalah suatu perubahan khususnya yang menyangkut
perubahan tingkah laku atau perubahan kejiwaan). Dalam psikologi belajar,
proses berarti cara-cara atau langkah-langkah khusus yang dengannya beberapa
perubahan ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil tertentu (Reber, 1988).
Tahap-tahap Dalam Proses Belajar
A.
Menurut Jerome
S. Bruner
Karena Belajar Itu
Merupakan Aktivitas Yang Berproses, Sudah Tentu Didalamnya Terjadi
Perubahan-Perubahan Yang Bertahap. Perubahan-Perubahan Tersebut Timbul Melalui
Tahap-Tahap Yang Antara Satu Dengan Lainnya Bertalian Secara Berurutan Dan
Fungsional. Menurut Burner, Salah Seorang Penentang Teori S-R Bond Yang
Terbilang Vokal (Barlow, 1985), Dalam Proses Pembelajaran Siswa Menempuh Tiga
Episode/ Tahap, Yaitu: 1) Tahap Informasi (Tahap Penerimaan Materi); 2) Tahap
Transformasi (Tahap Pengubahan Materi); 3) Tahap Evaluasi (Tahap Penialain
Meteri)
Dalam Tahap
Informasi, Seorang Siswa Yang Sedang Belajar Memperoleh Sejumlah Keterangan
Mengenai Materi Yang Sedang Dipelajari. Di Antara Informasi Yang Diperoleh Itu
Ada Yang Sama Sekali Baru Dan Berdiri Sendiri, Ada Pula Yang Berfungsi
Menambah, Memperhalus, Dan Memperdalam Pengeahuan Yang Sebelumnya Telah
Dimiliki. Dalam Tahap Transformasi, Informasi Yang Telah Diperoleh Itu
Dianalisis, Diubah, Atau Ditransformasikan Menjadi Bentuk Yang Abstrak Atau
Konseptual Supaya Kelak Pada Gilirannya Dapat Dimanfaatkan Bagi Hal-Hal Yang
Lebih Luas. Bagi Siswa Pemula, Tahap Ini Akan Berlangsung Sulit Apabila Tidak
Disertai Dengan Bimbingan Anda Selaku Guru Yang Diharapkan Kompeten Dalam
Mentransfer Strategi Kognitif Yang Tepat Untuk
Melakukan Pembelajaran
Tertentu. Dalam Tahap Evaluasi, Seorang Siswa Menilai Sendiri Sampai Sejauh
Mana Informasi Yang Telah Ditransfornasikan Tadi Dapat Dimanfaatkan Untuk
Memahami Gejala Atau Memecahkan Masalah Yang Dihadapi. Tak Ada Penjelasan Rinci
Mengenai Sara Evaluasi Ini, Tetapi Agaknya Analogdengan Peristiwa Retrieval
Untuk Merespons Lngkungan Yang Sedang Dihadapi.
B. Menurut Arno F Wittig
Menurut Wittig
(1981) Dalam Bukunya Psychology Of Learning, Setiap Proses Belajar Selalu
Berlangsung Dalam Tiga Tahapan Yaitu: 1) Acquisition (Tahap
Perolehan/Penerimaan Informasi); 2) Storage (Tahap Penyimpanan Informasi); 3)
Retrieval (Tahap Mendapatkan Kembali Informasi) Pada Tingkatan Acquisition
Seorang Siswa Mulai Menerima Informasi Sebagai Stimulus Dan Melakukan Respons
Terhadapnya, Sehingga Menimbulkan Pemahaman Dan Perilaku Baru. Pada Tahap Ini
Terjadi Pila Asimilasi Antara Pemahaman Dengan Perilaku Baru Dalam Keseluruhan
Perilakunya. Proses Acquisition Dalam Belajar Merupakan Tahap Paling Mendasar.
Kegagalan Dalam Tahap Ini Akan Mengakibatkan Kegagalan Pada Tahap-Tahap
Berikutnya. Pada Tingkatan Storage Seorang Siswa Secara Otomatis Akan Mengalami
Proses Penyimpanan Pemahaman Dan Perilaku Baru Yang Ia Proleh Ketika Menjalani
Proses Acquitision.
Peristiwa Ini
Sudah Tentu Melibatkan Fungsi Short Term Dan Long Term Memori. Pada Tingkatan
Retrieval Seorang Siwa Akan Mengaktifkan Kembai Fungsi-Fungsi Sistem Memorinya,
Misalnya Ketika Ia Menjawab Pertanyaan Atau Memecahkan Masalah. Proses
Retrieval Pada Dasarnya Adalah Upaya Atau Peristiwa Mental Dalam Mengungkapkan
Dan Memproduksi Kembali Apa-Apa Yang Tersimpan Dalam Memori Berupa Informasi,
Simbol, Pemahaman, Dan Perilaku Tertentu Sebagai Respons Atau Stimulus Yang
Sedang Dihadapi.
Walaupun belajar
dikatakan berubah, namun untuk mendapatkan perubahan itu bermacam-macam caranya.
Setiap perbuatan belajar mempunyai cirri-ciri masing-masing. Para ahli dengan
melihat ciri-ciri yang ada di dalamnya, mencoba membagi jenis-jenis belajar
ini, disebabkan sudut pandang. Oleh karena itu, sampai saat ini belum ada
kesepakatan atau keragaman dalam merumuskannya. A. De Block misalnya berbeda
dengan C. Van Parreren dalam merumuskan sistematika jenis-jnis belajar.
Demikian juga antara rumusan sistematika jenis-jenis belajar yang dikemukakan
oleh C. Van Parreren dengan Robert M. Gagne.
Jenis-jenis
belajar yang diuraikan dalam pembahasan berikut ini merupakan penggabungan dari
pendapat ketiga ahli di atas. Walaupun begitu, dari pendapat ketiga para ahli
di atas, ada jenis-jenis belajar tertentu yang tidak dibahas dalam kesempatan
ini, dengan pertimbangan sifat buku yang dibahas.
Oleh karena itu,
jenis-jenis belajar yang diuraikan berikut ini menyangkut masalah belajar arti
kata-kata, belajar kognitif, belajar menghafal, belajar teoritis, belajar
kaedah, belajar konsef/pengertian, belajar keterampilan motorik. Untuk jelasnya
ikutilah uraian berikut.
1. Belajar
arti kata-kata
Belajar arti
kata-kata maksudnya adalah orang mulai menangkap arti yang terkandung dalam
kata-kata yang digunakan. Pada mulanya suatu kata sudah dikenal, tetapi belum
tahu artinya. Misalnya, pada anak kecil, dia sudah mengetahui kata “kucing”
atau “anjing”, tetapi dia belum mengetahui bendanya, yaitu binatang yang
disebutkan dengan kata itu. Namun lam kelamaan dia mengetahui juga apa arti
kata “kucing” atau “anjing”,. Dia sudah tahu bahwa kedua binatang itu berkaki
empat dan dapat berlari. Suatu ketika melihat seekor anjing dan anak tadi
menyebutnya “kucing”. Koreksi dilakukan bahwa itu bukan kucing, tetapi anjing.
Anak itu pun tahu bahwa anjing bertubuh besar dengan telinga yang cukup
panjang, dan kucing itu bertubuh kecil dengan telinga yang kecil dari pada
anjing.
Setiap pelajar
atau mahasiswa pasti belajar arti kata-kata tertentu yang belum diketahui.
Tanpa hal ini, maka sukar menggunakannya. Kalau pun dapat menggunakannya, tidak
urung ditemukan kesalahan penggunaan. Mengerti arti kata-kata merupakan
dasar-dasar terpenting. Orang yang membaca akan mengalami kesukaran untuk
memahami isi bacaan. Karena ide-ide yang terpatri dalam setiap kata. Dengan
kata-kata itulah, para penulis atau pengarang melukiskan ide-idenya kepada
siding pembaca. Oleh karena itu, penguasaan arti kata-kata adalah penting dalam
belajar.
2. Belajar
Kognitif
Tak dapat
disangkal bahwa belajar kognitif bersentuhan dengan masalah mental. Objek-objek
yang diamati dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan, atau
lambang yang merupakan sesuatu bersifat mental. Misalnya, seseorang
menceritakan hasil perjalanannya berupa pengalamannya kepada temuannya. Ketika
dia menceritakan pengalamannya selama dalam perjalanan, dia tidak tidak dapat
menghadirrkan objek-objek yang pernah dilihatnya selama dalam perjalanan itu di
hadapan temannya itu, dia hanya dapat menggambarkan semua objek itu dalam
bentuk kata-kata atau kalimat. Gagasan atau tanggapan tentang objek-objek yang
dilihat itu dituangkan dalam kata-kata atau kalimat yang disampaikan kepada
orang yang mendengarkan ceritanya.
Bila tanggapan
berupa objek-objek materiil dan tidak materiil telah dimiliki, maka seseorang
telah mempunyai alam pikiran kognitif. Itu berarti semakin banyak pikiran dan
gagasan yang dimiliki seseorang, semakin kaya dan luaslah alam pikiran kognitif
orang itu.
Belajar kognitif
penting dalam belajar. Dalam belajar, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari
kegiatan belajar kognitif. Mana bisa kegiatan mental tidak berproses ketika
memberikan tanggapan terhadap ojek-objek yang diamati. Sedangkan belajar itu
sendiri adalah proses mental yang bergerak kea rah perubahan.
3. Belajar
Menghafal
Menghafal adalah
suatu aktivitas menanamkan suatu materi verbal dalam ingatan, sehingga nantinya
dapat diproduksikan {diingat} kembali secara harfiah, sesuai dengan materi yang
asli, dan menyimpan kesan-kesan yang nantinya suatu waktu bila diperlukan dapat
diingat kembali kealam dasar.
Dalam menghafal,
ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan, yaitu mengenai tujuan, pengertian,
perhatian, dan ingatan. Efektif tidaknya dalam menghafal dipengaruhi oleh
syarat-syarat tersebut. Menghafal tanpa tujuan menjadi tidak terarah, menghafal
tanpa pengertian menjadi kabur, menghafal tanpa perhatian adalah kacau, dan
menghafal tanpa ingatan adalah sia-sia.
4. Belajar
Teoritis
Bentuk belajar
ini bertujuan untuk menempatkan semua data dan fakta {pengetahuan} dalam suatu
kerangka organisasi mental, sehingga dapat difahami dan digunakan untuk
memecahkan problem, seperti terjadi dalam bidang-bidang studi ilmiah. Maka,
diciptakan konsep-konsef, relasi-relasi di antara konsep-konsep dan
struktur-struktur hubungan. Missalnya, “bujur sangkar” mencakup semua persegi
empat; iklim dan cuaca berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman;
tumbuh-tumbuhan dibagi dalam genus dan species. Sekaligus dikembangkan dalam
metode-metode untuk memecahkan problem-problem secara efektif dan efesien,
misalnya dalam penelitian fisika.
5. Belajar
Konsep
Konsep atau
pengertian adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai
ciri-ciri yang sama, orang yang memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi
terhadap objek-objek yang dihadapinya, sehingga objek ditempatkan dalam
golongan tertentu. Objek-objek dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk
repressentasi mental tak berperaga. Konsep sendiri pun dapat dilambangkan dalam
bentuk suatu kata {lambang bahasa}.
Konsep dibedakan
atas konsep konkret dan konsep yang harus didefinisikan. Konsep konkret adalah
pengertian yang menunjuk pada objek-objek dalam lingkungan fisik. Konsep ini
mewakili benda tertentu, seperti meja, kursi, tumbuhan, rumah, mobil, sepeda
motor dan sebagainya. Konsep yang didefinisikan adalah konsep yang mewakili
realitas hidup, tetapi tidak langsung menunjuk pada realitas dalam lingkungan
hidup fisik, karena realitas itu tidak berbadan. Hanya dirasakan adanya melalui
proses mental.
6. Belajar
Kaidah
Belajar kaidah
{rule} termasuk dari jenis belajar kemahiran intelektual {intellectual skill},
yang dikemukakan oleh Gagne. Belajar kaidah adalah bila dua konsep atau lebih
dihubungkan satu sama lain, terbentuk suatu ketentuan yang mereprensikan suatu
keteraturan. Orang yang telah mempelajari suatu kaidah, mampu menghubungkan
beberapa konsep. Misalnya, seseorang berkata, “besi dipanaskan memuai”, karena
seseorang telah menguasai konsep dasar mengenai “besi”, “dipanaskan” dan
“memuai”, dan dapat menentukan adanya suatu relasi yang tetap antara ketiga
konsep dasar itu {besi, dipanaskan, dan memuai}, maka dia dengan yakin
mengatakan bahwa “besi dipanaskan memuai”.
Kaidah adalah
suatu pegangan yang tidak dapat diubah-ubah. Kaidah merupakan suatu
representasi {gambaran} mental dari kenyataan hidup dan sangat berguna dalam
mengatur kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti bahwa kaidah merupakan suatu
keteraturan yang berlaku sepanjang masa. Oleh karena itu, belajar kaidah sangat
penting bagi seseorang sebagai salah salah satu upaya penguasaan ilmu selama
belajar di sekolah atau di perguruan tinggi {universitas}.
7. Belajar
Berpikir
Dalam belajar
ini, orang dihadapkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan, tetapi tanpa
melalui pengamatan dan reorganisasi dalam pengamatan.masalah harus dipecahkan
melalui operasi mental, khususnya menggunakan konsep dan kaidah serta
metode-metode bekerja tertentu.
Dalam konteks
ini ada istilah berpikir konvergen dan berpikir divergen. Berpikir konvergen
adalah berpikir menuju satu arah yang benar atau satu jawaban yang paling tepat
atau satu pemecahan dari suatu masalah.berpikir divergen adalah berpikir dalam
arah yang berbeda-beda, akan diperoleh jawaban-jawaban unit yang berbeda-beda
tetapi benar.
Konsep Dewey
tentang berpikir menjadi dasar untuk pemecahan masalah adalah sebagai berikut.
a. Adanya
kesulitan yang dirasakan dan kesadaran akan adanya masalah.
b. Masalah itu
diperjelas dan dibatasi.
c. Mencari
informasi atau data dan kemudian data itu diorganisasikan.
d. Mencari
hubungan-hubungan untuk merumuskan hipotesis-hipotesis, kemudian
hipotesis-hipotesis itu dinilai, diuji, agar dapat ditentukan untuk diterima
atau ditolak.
e. Penerapan
pemecahan terhadap masalah yang dihadapi sekaligus berlaku sabagai pengujian
kebenaran pemecahan tersebut untuk dapat sampai pada kesimpulan.
Menurut Dewey, langkah-langkah dalam
pemecahan masalah adalah sebagai berikut.
a. Kesadaran akan
adanya masalah.
b. Merumuskan
masalah.
c. Mencari data
dan merumuskan hipotesis-hipotesis.
d. Menguji
hipotesis-hipotesis itu.
e. Menerima hipotesis yang
benar.
Meskipun
diperlukan langkah-langkah, menurut Dewey, tetapi pemecahan masalah itu tidak
selalu mengikuti urutan yang teratur, melainkan meloncat-loncat antara
macam-macam langkah tersebut. Lebih-lebih apabila orang berusaha memecahkan
masalah-masalah yang kompleks.
E.Faktor Yang Mempengaruhi Proses
Belajar
Agar fungsi
pendidik sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan
baik, maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses
dan hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua
bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud,
1985 :11).
1. Faktor Fisiologis
Faktor-faktor
fisiologis ini mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor
instrumental dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran
turut menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek
didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian
material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan
gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat
lebih kompeks.
Faktor
lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu
mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif
dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar pada pagi hari selalu memberikan
hasil yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial
yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian
hasil belajar yang optimal.
Yang tak kalah
pentingnya untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang
tergolong perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software).
Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan
sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya,
pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini
seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.
Faktor
fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah
kondisi individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah
kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi
jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk
memulai tindakan belajar.
2. Faktor Psikologis
Faktor-faktor
psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar, jumlahnya banyak
sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara terpisah.
Perilaku individu,
termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang
lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti
perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif.
a.
Perhatian
Tentulah dapat
diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar
akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya
kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini
dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu,
seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek
didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi
dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya.
Strategi
pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari
subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak
disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk
mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di
sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian
psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan
yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.
b.
Pengamatan
Pengamatan
adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan,
pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang
bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu
pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.
Untuk
kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami
keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis
manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan
peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa
unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi
pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan
pendengaran.
Jika demikian,
para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam
penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya
penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya
; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya.
c.
Ingatan
Secara teoritis,
ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima
kesan, (2) menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena
fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan
untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.
Kecakapan merima
kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek
didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya.
Dalam konteks
pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya
teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai
dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada
subjek didik. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang
mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan bagi subjek didik,
terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan
lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik adalah mengingat nama-nama kunci
nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya.
Hal lain dari
ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak
sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum
terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan
tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada
awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban,
dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu
yang relatif lama.
Untuk mencapai
proporsi yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan,
subjek didik harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang
tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran
sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau
mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini,
misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial
pembelajaran selesai.
Kemampuan
resroduksi, yakni pengaktifan atau prosesproduksi ulang hal-hal yang telah
dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal
yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan
tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
dalam ujian ; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia sekitar.
Pendidik dapat
mempertajam kemampuan subjek didik dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas
mengikhtisarkan material pembelajaran yang telah diberikan.
d.
Berfikir
Definisi yang
paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam
Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan
konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian
informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang berupa
pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada
dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1)
pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan
kesimpulan.
Kemampuan
berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal
akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif
berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah
mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para pendidik yang
memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang “selengkapnya” tentang
satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan subjek didik
untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya
pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional
akan mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka.
Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik
untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.
e.
Motif
Motif adalah
keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi timbul dari rangsangan luar,
seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan
baik. Motif semacam ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak jarang
pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif
intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin
mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.
Dalam konteks
belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih baik, dan biasanya berjangka
panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik tidak cukup potensial pada subjek
didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini,
umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana kompetitif di antara
individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan mendorong subjek didik
untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun demikian, pendidik harus
memonitor suasana ini secara ketat agar tidak mengarah kepada hal-hal yang
negatif.
Motif ekstrinsik
bisa juga dihadirkan melalui siasat “self competition”, yakni menghadirkan
grafik prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik
dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya
dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek
didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di
bawah prestasi orang lain.
F.
Perspektif
Dalam Belajar
1. Perspektif
perilaku
Menyatakan
bahwa perilaku sosial kita paling baik dijelaskan melalui perilaku yang secara
langsung dapat diamati dan lingkungan yang menyebabkan perilaku kita berubah.
2. Perspektif
kognitif
Menjelaskan perilaku sosial kita dengan
cara memusatkan pada bagaimana kita menyusun mental (pikiran, perasaan) dan
memproses informasi yang datangnya dari lingkungan . Kedua perspektif tersebut
banyak dikemukakan oleh para psikolog sosial yang berlatar belakang psikologi.
Di samping kedua perspektif di atas, ada dua
perspektif lain yang sebagian besarnya diutarakan oleh para psikolog sosial
yang berlatas belakang sosiologi.
3. Perspektif
struktural
Memusatkan perhatian pada proses
sosialisasi, yaitu proses di mana perilaku kita dibentuk oleh peran yang
beraneka ragam dan selalu berubah, yang dirancang oleh masyarakat kita.
4. Perspektif
interaksionis
Memusatkan perhatiannya pada proses
interaksi yang mempengaruhi perilaku sosial kita. Perbedaan utama di antara
kedua perspektif terakhir tadi adalah pada pihak mana yang berpengaruh paling
besar terhadap pembentukan perilaku. Kaum strukturalis cenderung meletakan
struktur sosial (makro) sebagai determinan perilaku sosial individu, sedangkan
kaum interaksionis lebih memandang individu (mikro) merupakan agen yang aktif
dalam membentuk perilakunya sendiri.
G.
Pengkondisian
Klasik dan Pengkondisian
Operan
1.
Pengkondisian Klasik/ pengkondisian
Responden
Sebuah respon
diharapkan muncul dari organism lewat suatu stimulus spesifik yang sudah
diketahui.Pengkondisian klasik terhadap manusia pertama kali disampaikan oleh
J.B. Watson & Rosalie Rayner pada tahun 1920 pada anak lelaki kecil bernama
Albert
2.
Pengkondisian Operan
Sebuah perilaku
diharapkan muncul setelah mendapat penguatan.
Perbedaan antara pengkondisian klasik dan operan adalah:
Pengkondisian
Klasik/ pengkondisian Responden. Maksudnya perilaku dimunculkan oleh organism,
respon yang dimunculkan ditarik keluar dari dalam diri organism
Pengkondisian
Operan. Maksudnya Perilaku dipancarkan tidak terdapat dalam diri organisme,
respon respon yang muncul begitu saja
karena pernah ada sebelumnya & dipancarkan begitu saja karena
sejarah penguatan atau sejarah evolusi organism itu sendiri. Pengutan tidak
menyebabkan perilaku namun hanya memperrsiapkan suasana abagi pengulangannya
H.
Prinsip
Belajar Efektif
Kegiatan belajar
itu merupakan proses yang kompleks, bukannya proses yang sederhana. Belajar
melibatkan bukan saja intelek, tetapi juga fisik, emosi, sosial, persepsi dan
sebagainya. Penggunaan prinsip-prinsip belajar disini secara empiris memang
dapat dibenarkan dan secara efektif dapat disampaikan kepada para calon guru.
Prinsip-prinsip belajar juga akan memberikan pemikiran psikologis kepada
guru-guru dan calon guru untuk mendapatkan dan menemukan metode-metode mengajar
yang jitu serta memilih secara lebih inteligen antara metode mengajar yang baru
sehingga secara tepat dapat mengarahkan kepadanya
Sehubungan
dengan prinsip-prinsip belajar dimaksud, Nasution mengemukakan antara lain :
1. Agar
seseorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan.
2. Tujuan
itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan
karena paksaan oleh orang lain.
3. Orang
itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesukaran dan berusaha denga tekun
untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
4. Belajar
itu harus terbukti dari perubahan tingkah lakunya.
5. Selain
tujuan tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil-hasil sambilan
atau sampingan.
6. Belajar
lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
7. Seorang
pelajar sebagai keseluruhan, tidak dengan otaknya, atau secara intelektual saja
tetapi juga secara sosial, emosional, etis dan sebagainya.
8. Dalam
hal belajar seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
9. Untuk
belajar diperlukan “insight”.
10. Disamping
mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar
tujuan-tujuan lain.
11. Belajar
lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
12. Ulangan
dan latihan perlu, akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
13. Belajar
hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar. (Abror, 1993).
Prinsip Belajar dalam Perspektif Hadits
Sebelum ahli
kejiwaan modern menemukan beberapa prinsip belajar. Al-Qur’an sejak abad 14
silam telah mempraktekkan prinsip tersebut dalam mengubah prilaku manusia,
mendidik jiwa mereka dan membangun kepribadiannya. Disamping itu, Rasululah SAW
juga mempraktekkan prinsip itu dalam mendidik kejiwaan para Sahabat, mengubah
prilaku mereka dan membangun kepribadian para Sahabat.
Motivasi
merupakan prinsip yang terpenting dari semua prinsip belajar. Hasil eksperimen
menjelaskan pentingnya motivasi dalam proses belajar ini karena hasil dari
berbagai studi menunjukkan bahwa belajar akan terjadi secara cepat dan efektif
jika ada motivasi tertentu.
I.
pengertian memori
Ditinjau
dari sudut jenis memori informasi dan pengetahuan yang disimpan, memori manusia
itu terdiri atas dua macam.
1.
Semantic Memory (memori semantik), yaitu memori khusus yang menyimpan arti-arti
atau pengertian-pengertiaan.
2.
Episodic Memory (memori episodik), yaitu memori khusus yang menyimpan informasi
tentang peristiwa-peristiwa.
Menurut
Reber (1988), dalam memori semantik, informasi yang diterima ditransformasikan
dan diberi kode arti, lalu atas dasar arti itu. Jadi, informasi yang kita
simpan tidak dalam bentuk aslinya, tetapi dalam bentuk kode yang memiliki arti.
Banyak ahli yang percaya bahwa memori semantik itu berfungsi menyimpan
konsep-konsep yang signifikan dan bertalian satu dengan yang lainnya.
Memori
episodik adalah memori yang menerima & menyimpan persirtiwa-peristiwa yang
terjadi atau dalam waktu dan tempat tertentu, yang berfungsi sebagai
otobiografi. Sebagian ahli memperkirakan bahwa memori episodik mungkin dapat
menyimpan pengetahuan yang bersifat semantik. Best (1989) berpendapat bahwa
antara item pengetahuan episodik dengan item pengetahuan semantik terhadap
hubungan yang memungkinkan bergabungnya item episodik dalam memori semantik.
Dalam hal ini, item pengetahuan dalam memori episodik dapat diproses atau
dimodifikasi oleh sistem akal kita menjadi item-item yang berbentuk arti-arti
sehingga memperoleh akses ke memori semantik. Diluar kemungkinan proses ini,
belum ada keterangan lain yang lebih akurat mengenai sifat dan cara
penggabungan antara memori episodik dengan memori semantik. (syah, 2007)
J.
Memori
Jangka Pendek
Informasi
yang dipersepsi seseorang dan mendapatkan perhatian ditransfer ke komponen
kedua dari sistem memori yaitu memori jangka pendek. Menurut Slavin (dalam Nur
dkk,1998:8) dijelaskan bahwa “memori jangka pendek adalah sistem penyimpanan
yang dapat menyimpan informasi dalam jumlah yang terbatas hanya dalam beberapa
detik”. Biasanya memori ini menyimpan informasi yang terkini yang sedang
dipikirkan. Satu cara untuk menyimpan informasi ke dalam memori jangka pendek
adalah memikirkan tentang informasi itu atau mengucapkannya berkali-kali.
Proses mempertahankan suatu informasi dalam memori jangka pendek dengan cara
mengulang-ulang disebut menghafal (rehearsal). Menghafal sangat penting dalam
belajar, karena semakin lama suatu butir tinggal di dalam memori jangka pendek,
semakin besar kesempatan butir itu akan ditransfer ke memori jangka panjang.
Tanpa pengulangan kemungkinan butir itu tidak akan tinggal di memori jangka
pendek lebih dari sekitar 30 detik maka informasi itu dapat hilang akibat
desakan informasi lainnya, karena memori jangka pendek mempunyai kapasitas yang
terbatas yaitu 5 sampai 9 bits informasi (Miller,1956 dalam Nur dkk,1998:9)
yaitu hanya bisa berpikir antara 5 sampai 9 hal yang berbeda dalam satu waktu
tertentu
K.
Memori Jangka
Panjang
Memori jangka
panjang merupakan bagian dari sistem memori tempat menyimpan informasi untuk
periode waktu yang panjang. Memori jangka panjang memiliki kapasitas yang
sangat besar tempat menyimpan memori dengan jangka yang sangat panjang. Banyak
ahli yakin bahwa informasi yang terdapat dalam memori jangka panjang tidak
pernah dilupakan, kemungkinan hanya sekedar kehilangan kemampuan untuk
menemukan kembali informasi yang tersimpan di dalam memori kita.
Menyatakan bahwa
para ahli membagi memori jangka panjang menjadi tiga bagian yaitu: memori
episodik, memori semantik dan memori prosedural. Memori episodik adalah memori
tentang pengalaman pribadi, suatu gambaran mental tentang sesuatu yang dilihat
atau didengar. Memori semantik adalah memori jangka panjang yang berisi
fakta-fakta dan generalisasi informasi yang diketahui misalnya konsep, prinsip
atau aturan dan bagaimana menggunakannya dan keterampilan pemecahan masalah dan
strategi belajar. Memori prosedural mengacu pada “mengetahui bagaimana”
(“knowing how”) sebagai lawan dari “mengetahui apa” (“knowing that”)
(Syswester,1985 dalam Nur dkk,1998:13).
L.
Memori
Implisit
Kemampuan mengingat merupakan salah satu faktor penting
dalam kehidupan anak. Banyaknya rangsangan yang diperoleh sebagai hasil dari
belajar yang optimal, salah satunya ditentukan oleh seberapa kuat daya ingat
anak. Tak heran jika daya ingat menjadi salah satu indikator kecerdasan selain
konsentrasi dan daya nalar.
Carolyn Rovee, guru besar psikologi dari Rutgers
University, Amerika berpendapat memori sudah terbentuk sejak lahir, walaupun
tidak semua informasi akan diingat sampai dewasa. Pakar psikologi yang lainnya,
Jean Mandle berpendapat memori terdiri atas implicit memory (memori yang
terjadi karena adanya suatu proses pembiasaan) dan explicit memory (kemampuan
untul secara sadar mencari informasi masa lalu).
Contoh, ketika anak belajar naik sepeda, dia sedang
membuat kedua set memori itu. Memori eksplisitnya merekam hal-hal yang
ditangkap oleh indra, seperti warna sepeda pertamanya adalah kuning, bergambar
ikan hiu, ada botol minumnya, dering belnya nyaring dll. Sedangkan implisit
memorii merekam semua kegiatan organ tubuh atau mekanikal tubuh saat mengayuh
sepeda. Memori eksplisit boleh saja hilang tapi memori implisit tetap ada. Bisa
saja anak lupa motif sepeda pertamanya, tapi dia tidak akan lupa cara mengayuh
sepeda.
M.
Memory Konstruktif
Didalam proses ini memori konstruktif sangat cenderung
menggunakan pengetahuan umum kita untuk mengkontruksi memori yang lengkap akan
cerita atau peristiwa yang terjadi. jika kita mendengar suatu kalimat atau
cerita, kita sering kali memperlakukannya sebagai deskripsi yang tidak lengkap
dari peristiwa nyata, sehingga kita menggunakan pengetahuan umum untuk
mengkontruksi deskripsi peristiwa yang lebih lengkap dengan menambahkan
pernyataan pada kalimat dan cerita yang tampaknya mengikuti kalimat atau cerita
itu. Sebagai contoh, saat mendengar, “Mike memecahkan botol dalam perkelahian
di bar.” Dan kita kemungkinan menyimpulkan botol itu adalah botol air atau
whiskey dan bukan botol susu atau soda.
Kita menambahkan kesimpulan ke memori kita tentang kalimat itu sendiri. Dengan
demikian, memori total kita jauh lebih luas dari informasi asli yang diberikan.
Kita mengisi informasi asli dengan menggunakan pengetahuan umum tentang apa
yang terjadi. kita melakukan hal itu karena kita coba menjelaskan kepada diri
sendiri tentang peristiwa yang kita dengar. Dengan demikian, memori konstruktif
merupakan produk sanmping dari kebutuhan kita untuk mengenali dunia.
N.
Meningkatkan
Daya Ingat,
1. Perhatian.
Bila kita ingin
selalu mengingat apa yang dikatakan seseorang, perhatikanlah dengan baik apa
yang dikatakan orang tersebut. Perhatikan setiap detil dari perkataannya.
Pusatkan sepenuhnya perhatian kita pada lawan bicara yang ada di hadapan kita.
2. Gunakan
seluruh panca indera anda.
Semakin banyak anda menggunakan panca indera
dalam memperhatikan sesuatu maka akan semakin lama ingatan terhadap hal
tersebut membekas di otak anda. Lihat, rasakan, dan hayati apa yang mengalir
dari setiap ucapan orang tersebut.
3. Hubungkan
dengan sesuatu.
Menghubungkan suatu benda dengan benda yang
lain akan membantu anda mengingat benda tersebut. Misalnya anda bertemu
seseorang lalu anda ingin mengingat namanya, perhatikan dengan seksama apa yang
unik atau berbeda dari orang tersebut. Si Ani yang berambut lurus dan bermata
indah badannya harum bagaikan bunga mawar. Semakin unik hubungan yang anda buat
maka akan semakin bagus ingatan anda terhadap orang tersebut.
4. Antusialah
dalam melakukan sesuatu.
Semakin antusias dan senang anda terhadap
sesuatu atau seseorang maka akan semakin mudah anda mengingatnya dalam jangka
waktu lama. Bila anda menyukai sesuatu atau seseorang maka anda akan sangat
memperhatikannya dan anda akan menggunakan seluruh panca indera anda untuk
merasakannya. Bahkan anda akan menghubungkannya dengan sesuatu benda yang
menarik sehingga bila anda melihat benda tersebut maka anda akan kembali
mengingatnya.
5. Ulangi.
Ulangi, ulangi dan ulangi apa yang ingin anda
ingat. Para ahli dibidang per-otakan mengatakan bahwa otak manusia hanya mampu
mengingat 7 bagian informasi dalam kurang dari 30 detik. Jika anda ingin lebih
lama mengingat maka anda harus selalu mengulangi dalam benak apa yang ingin
anda ingat.
6. Olah
ragalah yang cukup.
Olah raga terutama yang meningkatkan sirkulasi
oksigen ke otak akan meningkatkan fungsi otak secara maksimal. Mengingat adalah
salah satu fungsi otak yang sangat penting.
7. Kendalikan
stress anda.
Stress akan meningkatkan kadar hormon kortisol
yang mengganggu fungsi otak akibat matinya sel saraf otak. Stress juga akan
menganggu selera makan dan tidur anda yang pada gilirannya akan berdampak pula
pada kemampuan daya ingat. Salah satu cara untuk mengendalikan stress adalah
dengan berolah raga.
8. Tidurlah
yang cukup.
Saat kita terlelap terutama beberapa jam di
awal tidur, otak kita akan menyibukan diri memproses segala informasi yang kita
pelajari sebelumnya. Hal ini tentu akan menambah kemampuan daya ingat.
O.
Penalaran,
Penalaran adalah proses berpikir
yang bertolak dari pengamatan indera (observasi
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan
pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan
sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan
sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang
disebut menalar.
Dalam
penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil
kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence).
P.
Proses
Berpikir
Proses atau jalannya berpikir itu
pada pokoknya ada tiga langkah, yaitu:
1.
Pembentukan
Pengertian
Pengertian, atau lebih tepatnya
disebut pengertian logis di bentuk melalui tiga tingkatan, sebagai berikut:
a. Menganalisis ciri-ciri dari
sejumalah obyek yang sejenis. Obyek tersebut kita perhatikan unsur - unsurnya
satu demi satu. Misalnya maupun membentuk pengertian manusia.
b. Membanding - bandingkan ciri
tersebut untuk diketemukan ciri - ciri mana yang sama, mana yang tidak sama,
mana yang selalu ada dan mana yang tidak selalu ada mana yang hakiki dan mana
yang tidak hakiki.
c. Mengabstraksikan, yaitu
menyisihkan, membuang, ciri-ciri yang tidak hakiki, menangkap ciri-ciri yang
hakiki. Pada contoh di atas ciri - ciri yang hakiki itu ialah: Makhluk hidup
yang berbudi.
Q.
Berpikir
Imaginer
Jangan kalian bayangkan bahwa kekuatan
imajiner adalah kemampuan untuk membayangkan sesuatu yang berlebihan, tidak
karuan dan cenderung menghayal. Akan tetapi kekuatan imajiner di sini terbentuk
atas dasar kekuatan emosional, intelektual, spiritual, dan intuisi. orang yang
memiliki emosionalitas yang tinggi berbeda kekuatan imajinernya dengan orang
yang memiliki emosionalitas rendah, begitu juga secara intelektual, spiritual,
dan intuisi. Kekuatan-kekuatan yang demikian itu perlu adanya proses pengasahan
supaya kita mampu untuk berpikir secara cerdas dengan imajiner yang cerdas
pula.
Karena
kekuatan imajiner tersebut, lahir pula tindakan imajiner dengan konten dan
aspek yang sama yaitu emosional, intelektual, spiritual, dan intuisi. Untuk
selanjutnya kita perlu untuk menerima saran dan kritik agar kita mampu melihat
kekurangan kita serta bisa memahami perbedaan yang ada. Hingga pada puncaknya,
dapat menjadikan kita sebagai seseorang yang dinamis dalam berpikir dan
bertindak (tidak stagnan). Seseorang yang dinamis akan tercermin dari
tindakan-tindakannya, berupa tindakan yang inovatif, kreatif, strategis serta
independensi.
R.
Perkembangan
Bahasa dan
Komunikasi
Dorongan Penggunaan
Bahasa
Menurut Karl Buhler (dalam
Kartono, 1990) terdapat tiga dorongan utama dalam penggunaan bahasa, yaitu :
1. Kundgabe (pengumuman, maklumat, pemberitahuan) : ada
dorongan yang merangsang anak untuk memberitahukan isi kehidupan batiniahnya,
yaitu pikiran, perasaan, kemauan, harapan, fantasi diri, dan lain-lain kepada
orang lain.
2. Auslosung (pelepasan) : ada dorongan yang kuat pada anak
untuk melepaskan kata-kata dan kalimat-kalimat sebagai hasil dari peniruan.
3. Darstellung (pengungkapan, penyampaian,
pemaparan) : anak ingin mengungkapkan keluar segala sesuatu yang menarik hati
dan memikat perhatiannya.
Perkembangan Bahasa
Menurut Stern
Suami istri Clara dan William
Stern (dalam Kartono, 1990) membagi perkembangan bahasa anak yang normal dalam
empat periode perkembangan , yaitu :
1. Prastadium. Pada tahun pertama : meraban, dan kemudian menirukan
bunyi-bunyi. Mula-mula menguasai huruf hidup, kemudian huruf mati, terutama
huruf-huruf bibir. Lalu berlangsung proses reduplikasi atau pengulangan suku
kata seperti : ma – ma, pa – pa, mam – mam, uk – uk, dan lain sebagainya.
2. Masa pertama (kurang lebih 12 -18 bulan) : stadium kalimat-satu-kata. Satu
perkataan dimaksudkan untuk mengungkapkan satu perasaan atau satu keinginan.
Umpama kata “mama”, dimaksudkan untuk : “Mama, dudukkanlah saya di kursi itu!
Mama, saya minta makan.”
3. Masa kedua (kurang lebih 18-24 bulan) : anak mengalami stadium-nama. Pada
saat ini timbul kesadaran bahwa setiap benda mempunyai nama. Jadi ada kesadaran
tentang bahasa. Anak mengalami peristiwa “lapar-kata” : yaitu mau menghafal
secara terus menerus kata-kata baru, dan ingin memahami artinya. Perbendaharaan
kata anak menjadi semakin bertambah dengan cepatnya dan anak selalu merasa
“haus-tanya” dengan jalan mengajukan pertanyaan sebanyak-banyaknya. Pada saat
anak mulai meninggalkan kalimat-satu-kata, lalu menggunakan dua atau tiga kata-kata
sekaligus. Mula-mula ia mengucapkannya dengan tergagap-gagap : lambat laun
kalimatnya terungkapkan lebih lancar. Mulailah muncul kata-kata benda dan
kata-kata kerja, yang disusul dengan kata sifat. Baru sesudah anak berusia 3
tahun, anak mulai menguasai kata-kata penghubung.
4. Masa ketiga(kurang lebih 24-30 bulan) : anak mengalami stadium-flexi
(flexi, flexico = menafsirkan, mengakrabkan kata-kata). Lambat laun anak mulai
menggunakan kata-kata kerja yang ditafsirkan, yaitu kata-kata yang sudah diubah
dengan menambahkan awalan, akhiran, dan sisipan. Bentuk kalimat-kalimat masih
tunggal. Kemudian anak mulai menggunakan kata-kata seru, kalimat bertanya, dan
kalimat penjelasan. Lalu bisa merangkaikan kalimat-kalimat pendek. Biasanya
bentuk pertanyaan ditujukan pada pengertian nama benda-benda, letak benda (di
mana), dan apakah benda itu.
5. Masa keempat (mulai usia 30 bulan ke atas) : stadium anak kalimat. Anak
mulai merangkaikan pokok pemikiran anak dengan penjelasannya, berupa anak
kalimat. Pertanyaan anak kini sudah manyangkut perhubungan waktu (kapan, bila),
dan kaitan sebab – musabab (mengapa).
Ciri khas
bahasa untuk mengungkapkan perasaan dan keinginan anak sendiri, terutama
berlangsung pada masa kedua, ketiga, dan keempat. Kemudian anak mampu
menyatakan pikiran dan perasaan mengenai suatu benda di luar dirinya. Oleh
pemahaman yang masih sederhana dan penguasaan bahasa yang masih “miskin”,
seringkali cerita-cerita anak itu berupa “kibulan”, yang kita kenal
sebagai pseudo-dusta atau kebohongan semu. Dengan cerita
“kibulan” ini anak bukan bermaksud untuk berdusta betul-betulan, akan tetapi
hal itu disebabkan oleh penguasaan bahasa anak yang masih “primitive” sederhana.
Besar kecilnya perbendaharaan
bahasa anak sangat bergantung pada lingkungan budayanya, yaitu faktor orang
tua, sekolah, dan milieu. Sehubungan dengan hal ini, sungguhpun bahasa
anak-anak itu bengkang-bengkok dan tersendat-sendat, sebaiknya orang tua tidak
usah ikut-ikutan menggunakan bahasa kacau ini dan tetap mengajarkan bahasa yang
halus dan indah pada anak.
Kerancuan Bicara masa
Kanak-Kanak yang Umum
Pada periode belajar bahasa
tersebut, seringkali anak mengalami kerancuan bicara yang sifatnya umum.
Hurlock (1978) membagi kerancuan bicara masa kanak-kanak menjadi empat, yaitu :
1. Lisping berarti penggantian bunyi huruf. Pengganti yang paling umum adalah th
untuk s, seperti dalam “thimple thimon” dan
w untuk r, seperti dalam “wed wose”. Lisping biasanya
disebabkan oleh kesalahan bicara kebayi-bayian. Hilangnya gigi depan mungkin
menyebabkan gangguan temporer. Lisping pada
orang dewasa biasanya timbul karena adanya ruangan di antara gigi atas depan.
2. Slurring adalah bicara yang tidak jelas akibat tidak berfungsinya bibir,
lidah, atau rahang dengan baik. Kadang-kadang slurring disebabkan
oleh kelumpuhan organ suara atau karena otot lidah kurang berkembang. Apabila
emosi terganggu atau merasa gembira, anak mungkin berkata tergopoh-gopoh tanpa
mengucapkan setiap huruf dengan jelas. Slurring paling
umum terjadi selama tahun-tahun pra sekolah sebelum bicara menjadi kebiasaan.
3. 3. Stuttering (menggagap) adalah keragu-raguan, pengulangan bicara disertai dengan
kekejangan otot kerongkongan dan diafragma. Stuttering timbul
dari gangguan Pernafasan yang sebagian atau seluruhnya diakibatkan oleh tidak terkoordinasinya
otot bicara. Hal ini mirip dengan seorang yang berada dalam keadaan takut yang
menyebabkan ia seolah kehilangan kata-kata. Biasanya disertai dengan gemetaran,
terhentinya bicara, dan sewaktu-waktu pembicara tidak sanggup mengeluarkan bunyi.
Kemudian, apabila ketegangan otot berlalu, kata-kata membanjir ke luar dan
kemudian diikuti dengan kekejangan yang lain. Stuttering dimulai
pada waktu anak berusia 2, 5 dan 3,5 tahun. Normalnya stuttering menurun pada saat anak dapat melakukan
penyesuaian rumah dan social yang lebih baik.
4. 4. Cluttering adalah berbicara dengan cepat dan membingungkan, yang sering keliru
disamakan dengan stuttering. Biasanya terjadi
pada anak yang pengendalian motorik dan perkembangan bicaranya terlambat. Cluttering merupakan kesalahan bicara berlebihan
yang dilakukan oleh orang normal. Tidak seperti stuttering,
cluttering dapat diperbaiki jika orang memperhatikan benar
hal-hal yang ingin dikatakan.
Kondisi yang Menimbulkan Perbedaan dalam Belajar Berbicara
Telah disebutkan
beberapa kali bahwa kemampuan anak dalam berbicara tidak sama antara satu anak
dengan anak yang lain. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dipengaruhi
oleh beberapa kondisi (Hurlock, 1978), yaitu :
1. Kesehatan
Anak yang sehat, lebih cepat
belajar berbicara ketimbang anak yang tidak sehat, karena motivasinya lebih
kuat untuk menjadi anggota kelompok social dan berkomunikasi dengan anggota
kelompok tersebut.
1. Kecerdasan
Anak yang memiliki kecerdasan
tinggi akan belajar berbicara lebih cepat dan memperlihatkan penguasaan
bahasa yang lebih unggul ketimbang anak yang tingkat kecerdasannya rendah.
1. Keadaan sosial ekonomi
Anak dari kelompok yang keadaan
sosial ekonominya tinggi akan lebih mudah belajar berbicara, mengungkapkan
dirnya lebih baik, dan lebih banyak berbicara ketimbang anak dari kelompok yang
keadaan social ekonominya lebih rendah. Penyebab utamanya adalah bahwa anak
dari kelompok yang lebih tinggi, lebih banyak didorong untuk berbicara dan
lebih banyak dibimbing untuk melakukannya.
1. Jenis kelamin
Dibandingkan dengan anak
perempuan, anak laki-laki lebih tertinggal dalam belajar berbicara. Pada setiap
jenjang umur, kalimat anak lelaki lebih pendek dan kurang betul tata bahasanya,
kosa kata yang diucapkan lebih sedikit, dan pengucapannya kurang tepat
ketimbang anak perempuan.
1. Keinginan berkomunikasi
Semakin kuat keinginan untuk
berkomunikasi dengan orang lain, maka akan semakin kuat motivasi anak untuk
belajar berbicara, dan ia akan semakin bersedia menyisihkan waktu dan
mengeluarkan usaha yang lebih besar untuk belajar.
1. Dorongan
Semakin banyak anak didorong
untuk berbicara dengan mengajaknya bicara dan didorong dengan menanggapinya,
maka akan semakin awal mereka belajar berbicara dan semakin baik kualitas
bicaranya.
1. Ukuran keluarga
Anak tunggal atau anak dari
keluarga kecil biasanya berbicara lebih awal dan lebih baik ketimbang anak dari
keluarga besar, karena orang tua dapat menyisihkan waktu yang lebih banyak
untuk mengajar anaknya berbicara.
1. Urutan kelahiran
Dalam keluarga yang sama, anak
pertama lebih unggul ketimbang anak yang lahir kemudian. Hal ini disebakan
orang tua dapat menyisihkan waktunya yang lebih banyak untuk mengajar dan
mendorong anak yang lahir pertama dalam belajar berbicara ketimbang untuk anak
yang lahir kemudian.
1. Metode pelatihan anak
Anak-anak yang dilatih secara
otoriter yang menekankan bahwa “anak harus dilihat dan bukan didengar”
merupakan hambatan untuk belajar, sedangkan pelatihan yang memberikan
keleluasaan dan demokratis akan mendorong anak untuk belajar.
10. Kelahiran kembar
Anak yang lahir kembar umumnya
terlambat dalam perkembangan bicaranya terutama karena mereka lebih banyak
bergaul dengan saudara kembarnya dan hanya memahami logat khusus yang mereka
miliki. Hal ini melemahkan motivasi mereka untuk belajar berbicara agar orang
lain dapat memahami mereka.
11. Hubungan dengan teman
sebaya
Semakin banyak hubungan anak
dengan teman sebyanya dan semakin besar keinginan mereka untuk diterima sebagai
anggota kelompok sebaya, akan semakin kuat motivasi mereka untuk belajar
berbicara.
12. Kepribadian
Anak yang dapat menyesuaikan diri
dengan baik cenderung mempunyai kemampuan bicara lebih baik, baik secara
kuantitatif maupun secara kualitatif, ketimbang anak yang penyesuaian dirinya
jelek. Kenyataannya, bicara seringkali dipandang sebagai salah satu petunjuk
anak yang sehat mnenta
BAB III
PENUTUP
DAFTAR
PUSTAKA
Sarwono,
Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi,
Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Sobur,
Alex, Psikologi umum, Pustaka Setia, Bandung,
2003
Tan, Alexis S., Mass Communication Theories and Research, Grid Publising, Inc.,
Indianola Avenue, 1981.
Walker, Conditioning
and Instrumental Learning, Wadsworth Publising Coy, Inc., Belmont,
California, 1967
http://www.google.com
http://www.scribd.com
Atkinson, Rita L dan Ricard C Atkinson. 1983. Pengantar
Psikologi. Jakarta: Erlangga.
Syah, Muhibbin.2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Uno, Hamzah B.2005. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Walgito, Bimo.2003. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI.
Syah, Muhibbin.2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Uno, Hamzah B.2005. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Walgito, Bimo.2003. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI.
DAFTAR PUSTAKA
Elliot, S.N.,
Kratochwill, T.R., Littlefield, J., Travers, J.F. 1999. Educational Psychology : Effective TeachingEffective
Learning. Second Edition. Madison : Brown & Benchmark
Publishers.
Hurlock, E.B.
1978. Perkembangan Anak : Jilid 1. Edisi Keenam.
Jakarta : Penerbit Erlangga.
Kartono, K.
1990. Psikologi Perkembangan. Bandung : Penerbit Mandar
Maju
Monks, F.J.,
Knoers, A.M.P., Haditono, S.R., 1992. Psikologi Perkembangan :
Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Cetakan ke-8 Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
0 komentar:
Posting Komentar